Katanya Negara Demokrasi, Bicara Khilafah Kok Langsung Dipersekusi?

Mediaumat.news – Diduga pro Hizbut Tahrir Indonesia, Guru Besar Universitas Diponegoro Prof Dr Suteki dinonaktifkan dari tugasnya termasuk tugas sebagai Ketua Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Hukum (MIH).

“Benarkah hanya bicara tentang khilafah kemudian disimpulkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang penyebar faham radikalisme? Katanya ini negara demokrasi? Masih adakah ruang untuk diskusi—di manapun , baik di dalam maupun di luar kampus— agar persepsi saling dipahami sehingga tidak berakhir dengan persekusi layaknya yang saya alami ini?” ujarnya dalam akun  Facebook  Suteki, Sh, Mhum, Dr,  Kamis (7/6/2018).

Ia juga menyebutkan, “Inikah akhir skenario cerita  yang sudah disiapkan karena framingnya adalah: Suteki menyebarkan radikalisme yang harus ditindak? Baiklah, semuanya itu belum terbukti. Persoalan khilafah —yang dinilai sebagai faham radikalisme— selalu jadi kambing hitam untuk memojokkan saya karena saya menjadi ahli judicial review  Perppu Ormas di MK dan Gugatan HTI di PTUN Jakarta Timur. Fairkah ini?”

Suteki juga mengatakan, “Saya sudah menentukan koordinat, bahwa khilafah itu menurut buku yang saya baca, adalah bagian dari ajaran yang dipelajari dalam Islam. Persoalan sistem itu tidak atau belum kompatibel di Indonesia itu soal lain. Mengapa? Karena kita bersepakat membangun negeri ini hingga sekarang dalam sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila. Jadi, saya ingin tegaskan bahwa meyakini khilafah itu sebagai bagian dari ajaran Islam tidak identik dengan mendukung HTI karena khilafah bukan ajaran HTI melainkan hanya sebagian ajaran Islam. Itu sekali lagi penafsiran saya atas referensi yang saya baca.”

Ahli hukum ini juga mengakui tidak ada kebebasan tanpa batas, tetapi ketika batas itu semakin membuat publik tidak mampu sedikit pun membuka tabir kebebasan itu, masihkah pantas dikukuhi batas itu tanpa peduli? Kebebasan terbatas yakni dibatasi oleh kebebasan orang lain. Itu yang disebut kebebasan yang bertanggung jawab.

“Kalau hanya sebatas wacana, diskusi tentang ideologi, sistem pemerintahan dll, apakah hal itu mengganggu kebebasan orang lain? Apakah memaksa orang lain? Apakah ada tindakan kekerasan kepada pihak lain?” tanyanya retoris.

Ia juga mengkhawatirkan persekusi ini semakin dekatnya senjakala kebebasan ASN akademikus. “Salahkan seorang ASN seperti saya memiliki penafsiran dan sikap seperti itu? Apakah saya penyebar radikalisme? Ayolah, cobalah kita mau berpikir jernih. Tidak elok menjadi pendedam yang hanya berangkat dari asumsi dan narasi yang belum tentu benar adanya. Semua itu hanya akan mendesak makin dekatnya senjakala kebebasan ASN akademikus,” beber akademikus yang sudah 24 tahun mengampu mata kuliah Pancasila dan Filsafat Pancasila.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini: