Kata “Agama” Hilang dalam Draf PJPN, Analis PKAD: Ada Proses Sekularisasi Sistematis

 Kata “Agama” Hilang dalam Draf PJPN, Analis PKAD: Ada Proses Sekularisasi Sistematis

Mediaumat.news – Analis Senior Pusat Kajian dan Analisa Data (PKAD) Fajar Kurniawan menilai dihilangkannya kata ‘agama’ dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 menunjukkan adanya proses sekularisasi yang sistematis dan masif yang dilakukan oleh rezim.

“Saya kira ada proses sekularisasi yang sistematis dan masif dan ini sesungguhnya akibat dari begitu kuatnya cengkraman kapitalisme sekuler dalam diri bangsa ini dan itu kemudian diamini oleh rezim yang saat ini berkuasa,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Ahad (07/03/2021).

Menurutnya, proses sekularisasi itu secara pasti dan sistematis telah terjadi di dalam berbagai bidang. “Hal ini terjadi dalam berbagai sektor khususnya dalam pendidikan. Ini strategis sekali karena menyangkut  pembentukan pola pikir dari SDM bangsa Indonesia nanti ke depannya,” ujarnya.

Ia sudah mengecek draf yang disampaikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait dengan PJPN 2020-2035. “Dan betul memang di situ tidak kita jumpai kata-kata agama. Yang ada itu, di satu atau dua bagian ada ‘akhlak mulia’, ‘yang berakhlak’ kemudian juga ‘iman dan takwa’ itu pun tidak menjadi arus utama,” ungkapnya.

Fajar menilai, bahaya sekularisasi ini kalau dilihat dari hierarki perundang-undangan atau peraturan maka apa yang sudah disusun oleh Kemendikbud ini bertentangan dengan UU atau peraturan-peraturan di atasnya.

“Hal ini bertentangan langsung dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 5 yang berbunyi pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia,” jelasnya.

Ia menilai,  dalam pasal 31 ayat 5 UUD 1945 itu proses kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus selaras penjagaan terhadap nilai-nilai agama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

“Dan itu diperkuat lagi dengan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di situ kan yang dimaksud sistem pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman,” bebernya.

Namun menurutnya, hal ini direduksi dalam roda map atau peta jalan itu hanya pada tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman dan budaya sementara agama itu tidak ada dan ditinggalkan. “Ini yang saya kira secara hierarki perundang-undangan apa yang dibuat atau disusun oleh Kemendikbud itu inkonstitusional, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang di atasnya,” tandasnya.

Secara akidah, Fajar menilai, bahayanya lebih besar lagi karena itu berarti telah terjadi proses pembaratan atau westernisasi dari sistem pendidikan nasional. Karena, disadari atau tidak disadari, sengaja atau tidak disengaja, peta jalan itu telah kemudian begitu mengagungkan proses pembentukan kecakapan dalam bidang sains dan teknologi serta orientasi untuk bisa terserap pasar tenaga kerja.

“Tetapi di satu sisi justru sama sekali tidak memberikan perhatian atau mengabaikan pembentukan pola pikir dan pola sikap yang itu sangat dipengaruhi oleh agama,” ujarnya.

Menurutnya, bagaimana porsi agama sebagai landasan berpikir dan bertindak termasuk masalah etik itu justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam dokumen peta jalan itu.

“Tapi semata-mata berorientasi agar peserta didik mempunyai penguasaan terhadap sains dan teknologi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan sesuai tuntutan pasar sehingga itu yang dikatakan punya daya saing,” tambahnya.

Padahal, menurutnya, tidak boleh seperti itu. Pembentukan SDM yang mempunyai keimanan dan ketakwaan itu sebagai landasan utamanya, ia menilai justru itu yang lebih penting. “Buat apa kita punya SDM yang cakap, pintar tapi tidak punya nilai-nilai agama maka itu hanya akan menghasilkan orang-orang yang culas orang-orang yang sekuler orang-orang-orang yang tidak bisa membedakan mana yang halal dan yang haram, yang dosa dan bukan,” tandasnya.

Menurutnya, ini jauh lebih berbahaya. “Jadi selain bertentangan dengan perundang-undangan, hal ini juga sebuah proses sekularisasi atau pembaratan yakni menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai agamanya,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *