Kasus Suap Rektor Unila Bukan Sekadar Persoalan Individu, Tetapi …
Mediaumat.id – Kasus dugaan tindak pidana suap yang dilakukan Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani, dinilai Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah Al-Wa’ie Farid Wadjdi bukan hanya karena persoalan individu, tetapi lebih kepada sistem yang diterapkan.
“Persoalannya ini bukan sekadar persoalan individu kalau saya lihat, tetapi ini juga terkait dengan sistem,” paparnya dalam Sorotan Dunia Islam, Rabu (24/8/2022) di Radio Dakta FM Bekasi.
Maknanya, terang Farid lebih lanjut, faktor penyebab sampai terjadinya tindak pidana yang melibatkan oknum sekelas rektor tersebut, bisa diketahui dengan pendekatan individual dan sistem.
Dari sisi individu, menurutnya mungkin seseorang bermasalah. Sebutlah pandangan materialisme yang sangat memengaruhi seseorang dimaksud bakal melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hukum atau tidak.
“Seseorang yang berpandangan materialisme ketika dia menempatkan materi itu di atas segala-galanya, sumber kebahagiaan dan sebagainya, maka kecenderungannya untuk melakukan korupsi itu menjadi besar,” ungkapnya.
“Apalagi tidak memiliki rasa takut yang kuat terhadap Allah SWT,” imbuhnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Rektor Unila Karomani, Sabtu 20 Agustus 2022 dinihari terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus dugaan suap penerimaan calon mahasiswa baru tahun 2022.
Selain Karomani, KPK juga menjadikan Wakil Rektor Bidang Akademik Heryandi, dan Ketua Senat Unila M Basri sebagai tersangka.
KPK mengungkap nilai uang suap yang telah diterima Rektor Unila Karomani mencapai sekitar Rp5 miliar. Dia diduga mematok duit Rp100-350 juta untuk mahasiswa yang ingin masuk Unila melalui jalur mandiri. Barang bukti yang diamankan KPK berupa uang tunai Rp414,5 juta, slip setoran deposito bank Rp800 juta, deposit box diduga berisi emas senilai Rp1,4 miliar, ATM serta tabungan sebesar Rp1,8 miliar.
Lantaran itu sebagai gambaran umum, namun terlepas terkait tidaknya dengan kasus tersebut, lanjut Farid, dunia pendidikan saat ini tengah dikooptasi oleh para pemilik modal maupun politisi.
Maka, dalam kondisi demikian sering pula terdengar ungkapan misalnya, seseorang ketika menjabat suatu jabatan tertentu tidak mendasarkan atas karakter, tetapi kedekatan secara politik yang cenderung terdapat uang yang berperan.
“Seseorang yang menjadi rektor atau menjadi jabatan apa pun, kalau itu lahir dari kedekatan politik, ke partai tertentu atau rezim tertentu, kita tidak mengatakan langsung terkait kasus ini ya, ini secara umum saja, itu ada bayarannya,” urainya.
Artinya, ketika tuntutan bayaran yang harus ‘disetorkan’ besar, maka peluang melakukan tindak pidana korupsi termasuk suap-menyuap pun menjadi besar.
Ditambah ada semacam anggapan kalau posisinya mendukung rezim atau dekat dengan kekuasaan, seolah-olah manjadi aman. “Ini yang kemudian menurut saya menjadi peluang atau memberikan dorongan seseorang untuk menjadi koruptor,” jelasnya.
Terlebih kalau benar naik jabatannya karena uang, maka patutlah diduga yang bersangkutan bakalan melakukan hal sama sebagai dampak dari tuntutan-tuntutan politik.
“Sederhananya kamu sudah saya angkat sebagai pejabat, kamu sudah saya angkat sebagai elite politik, apa yang kamu berikan untuk saya? Apa yang kamu berikan untuk kami? Kira-kira begitu logikanya,” sambungnya.
Maka itu, menurut Farid, perkara yang menyeret petinggi perguruan tinggi tersebut sangat menyedihkan. Pasalnya bagaimanapun pendidikan menjadi pilar penting dari suatu negara dan bangsa.
Padahal bicara pendidikan, kata Farid, berarti berkenaan pula tentang karakter, tanggung jawab dan teladan. “Ini rektor loh, rektor dari perguruan tinggi,” timpalnya.
“Belum lagi kita tahu yang bersangkutan ini adalah ketua forum rektor penguat karakter bangsa,” lanjutnya menyesalkan.
Artinya, seorang rektor pemimpin para dosen, pendidik generasi telah memberikan contoh buruk bagi dunia pendidikan.
Kenyang Slogan
Lantas menjawab terkait slogan kurikulum merdeka belajar yang diusung dan kerap dikampanyekan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim hingga tercetus sampai lima episode dari ‘Merdeka Belajar’, Farid justru mengatakan negeri ini sudah sangat kenyang dengan slogan-slogan.
Bahkan beberapa koruptor, diketahui berslogan anti-radikalisme sebelum akhirnya tertangkap tangan oleh KPK.
“Beberapa koruptor itu kan slogannya anti-radikalisme, termasuk tersangka ini kan paling rajin bicara radikal-radikul,” ucapnya, seraya menambahkan hal sama tentang slogan ‘Saya NKRI’ atau ‘Saya Pancasila’ yang menurutnya malah digunakan untuk menyerang ajaran-ajaran Islam.
Tak ayal, ia pun menilai munculnya slogan-slogan tersebut bisa jadi sekadar mengalihkan persoalan sebenarnya atau menutupi kejahatan yang sedang dilakukan.
Sehingga, sangat berbahaya kalaulah kecintaan terhadap negeri diukur dengan slogan, yang menurutnya pun cenderung menjadi pembenaran terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan.
Lebih parahnya, imbuh Farid, slogan dimaksud justru digunakan menyerang ajaran-ajaran Islam hanya untuk mendapatkan dukungan dari elite politik yang kecenderungannya pun anti terhadap Islam.
Oleh karena itu ia pun mengkhawatirkan perihal keseriusan penanganan perkara tersebut. “Ini akan menjadi benalu ke depan kalau ini kemudian tidak diseriusin,” pungkasnya.[] Zainul Krian