Kasus Rendang Babi, Siyasah Institute: Belum Masuk Esensi Persoalan

Mediaumat.id – Pernyataan beberapa lembaga keislaman yang menanggapi kegaduhan warganet soal menu rendang berbahan dasar daging babi, dinilai oleh Direktur Siyasah Institute Iwan Januar belum menyentuh esensi persoalan.

“Menurut saya, belum masuk ke esensi persoalan. (Esensi persoalannya adalah) jaminan total umat Muslim terjaga dari mengonsumsi zat haram,” tuturnya pada Mediaumat.id, Selasa (14/6/2022).

Menurut Iwan, hal yang diperbincangkan di media sosial dan media berita daring hanya seputar menu ‘penodaan’ terhadap makanan masyarakat Minang yang sejak dulu memang Muslim.

“Mestinya dalam persoalan kuliner, umat bergerak lebih jauh lagi, menuntut jaminan kehalalan berbagai produk di tanah air, apakah makanan dan minuman, kosmetik, obat-obatan, dan apa saja yang dikonsumsi oleh kaum Muslim. Ini justru esensi persoalan yang sampai sekarang tidak tuntas,” sesalnya.

Iwan menilai ini ironi. “Perintah agama untuk berhati-hati dalam soal makanan, bahkan sampai dibentuk LP POM MUI, untuk mengawal kehalalan beragam produk, namun banyak Muslim yang tidak peduli dengan label halal,” sedihnya.

Empat Persoalan

Menurutnya, ada empat persoalan esensial menyangkut kehalalan berbagai produk yang dikonsumsi Muslim di tanah air.

Pertama, membangun kesadaran umat tentang arti penting menjaga kehalalan barang yang dikonsumsi keluarga Muslim. “Mesti ditanamkan bahwa tabiat dan karakter Muslim adalah hanya mengonsumsi barang-barang yang halal juga thayyib (baik). Inilah salah satu tanda keimanan,” tandasnya sambil mengutip Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 168 yang artinya,

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Menurutnya, membangun kesadaran ini menjadi amat penting, karena jika umat Muslim atau keluarga Muslim secara mayoritas sudah paham pentingnya hanya mengonsumsi barang yang halal, para produsen, pengusaha, pemilik rumah makan, dan sebagainya, akan ‘dipaksa’ secara hukum pasar untuk memproduksi barang yang benar-benar halal. “Ditambah lagi bila para pengusaha itu Muslim yang cinta agama, maka mereka akan menjaga kehalalan usaha dan produk yang dijalankan,” terangnya.

Kedua, regulasi atau aturan serta pengawasan dan penegakan hukum yang ketat dan tegas terhadap para pelaku usaha. Hari ini memang pemerintah sudah memiliki UU No. 33/2014 yang mengatur Jaminan Produk Halal, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Meski demikian, Iwan menandaskan, aturan itu baru akan membuat efek jera jika pemerintah aktif mengawasi produksi dan peredaran berbagai barang yang dijual di masyarakat.

“Sekarang ini pemerintah, khususnya aparat keamanan, cenderung menunggu laporan dari warga. Kecuali pada jelang hari raya biasanya baru banyak pemeriksaan dilakukan di pasar-pasar. Padahal umat berharap agar pemerintah secara berkala terus melakukan pemantauan di pasar agar masyarakat merasa tenang,” kritiknya.

Ketiga, Islam melarang peredaran dan penjualan berbagai komoditi haram di tengah-tengah kaum Muslim. “Dalam kasus makanan yang mengandung bahan haram, maka hanya diperbolehkan dijual di tengah-tengah komunitas ahludz dzimmah (orang kafir yang menjadi warga negara khilafah), jika menurut agama mereka barang-barang tersebut boleh dikonsumsi. Namun tidak boleh beredar dan diperjualbelikan di tengah kaum Muslim,” bebernya.

Iwan menyampaikan, fakta saat ini berbagai produk seperta makanan termasuk rumah makan yang berbahan haram bercampur di tengah kaum Muslim. “Di mini market ataupun di supermarket kita bisa mendapati barang-barang berbahan haram termasuk minuman keras dijual bersama-sama dengan barang-barang lain, meskipun barang-barang haram itu diletakkan di rak terpisah,” paparnya.

Padahal di masa Nabi, kata Iwan, di Madinah golongan ahli kitab seperti kaum Yahudi memiliki pasar sendiri, mereka bebas memperjualbelikan segala komoditi sesuai agama mereka. “Hukum syara’ ini terus dipertahankan oleh para khalifah berikutnya yakni berlaku larangan peredaran dan jual beli barang-barang haram di tengah umat Muslim,” kisahnya.

Keempat, kemudahan dalam proses izin produksi dan peredaran serta jual-beli khususnya uji kehalalan produk. “Negara wajib membuat proses yang mudah dalam hal ini. Tidak berbelit-belit, apalagi sengaja menyusahkan masyarakat. Begitu pula negara harus menekan biaya uji kehalalan produk semurah-murahnya, bahkan bila memungkinkan semua proses ditanggung oleh negara. Dengan begitu tidak akan memberatkan para pengusaha dan pedagang sehingga membuat mereka rela untuk mengikuti proses tersebut,” tandasnya.

Keempat hal di atas, menurut Iwan, merupakan politik pengawasan produksi dan perdagangan yang belum dilakukan kaum Muslim di tanah air. Sertifikasi halal -atau bisa juga haram- harus dilanjutkan hingga menjadi kebijakan negara yang melindungi umat Muslim, tapi juga menjamin kebutuhan umat lain.

“Itu hanya bisa dilakukan dalam penerapan syariat Islam secara kaffah. Sulit membayangkan hal itu terjadi dalam masyarakat sekuler dan kapitalis yang tidak sedikit orang tidak peduli soal halal haram, dan fulus selalu jadi tolak ukur kebijakan,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: