Kasus Penistaan Masjid [Bag. II]: Sikap Syar’i Menyikapi Penistaan Atas Masjid
Oleh: Irfan Abu Naveed
Publik Indonesia, kembali ramai dengan kasus viral oknum wanita tak berhijab (baca: non muslim/kafirah) yang memasuki masjid sembari berteriak marah, mengenakan sandal dan membawa anjingnya masuk ke dalam ruang utama masjid. Perbuatan ini viral menjadi bahan perbincangan khususnya di media sosial. Silahkan baca pemberitaan ini:
Berita I: Viral Video Wanita Bawa Anjing ke Dalam Masjid Sambil Berteriak di Sentul Bogor
Berita II: Ketua DKM Bantah Nikahkan Suami Wanita yang Bawa Anjing
Bahkan pemberitaan ini pun viral di dunia internasional, diberitakan oleh website dari kantor berita Internasional Al Jazeera (Arabiyyah), pada link berikut ini: [https://bit.ly/2XlaGQt], dengan judul:
في إندونيسيا.. تزوّج زوجها عليها فاقتحمت المسجد بكلبها
Sayang beribu-ribu sayang, suara-suara sumbang yang disadari atau tidak malah terkesan membela perbuatan keji ini pun disuarakan sebagian oknum, menunjukkan ketidakpahaman pada duduk persoalan, atau memang sengaja mengaburkan permasalahan. Bagaimana kaum Muslim harus menyikapi kasus ini? Silahkan disimak!
A. Menakar Perbuatan Oknum Wanita Pembawa Anjing ke Dalam Masjid
Bertolak dari agungnya kedudukan masjid sebagai syi’ar dalam Islam dalam artikel ini: Masjid: Syi’ar Islam yang Mulia & Wajib Dimuliakan. Maka relevan tatkala ditetapkan sejumlah adab mulia yang sudah diketahui dan disepakati, diantaranya: (a) Tidak boleh berteriak-teriak marah tidak jelas; (b) Tidak mengenakan alas kaki (sandal atau sepatu) dari luar masuk ke dalam masjid, sehingga tak ada kotoran yang menempel pada karpet tempat sujud; (c) Tidak boleh memasukkan binatang seperti anjing, dimana air liurnya jelas najis, bahkan dalam fikih termasuk najis mughallazhah (najis berat). Dengan perincian sebagai berikut:
- Perbuatan Provokasi Permusuhan & Mengganggu Ketenangan Masjid
Perbuatan marah lalu berteriak di dalam masjid, tidak layak dilakukan oleh siapapun, mengingat ia tempat yang mulia dan dimuliakan, dimana kalimat Allah di dalamnya wajib diagungkan. Maka sudah selayaknya, wajib dijauhi ucapan-ucapan kotor, termasuk berteriak-teriak mencari barang hilang (dalam kasus ini mencari suami yang “hilang”, dengan tuduhan dinikahkan oleh pengurus masjid tersebut), dan ucapan bernada tinggi yang menunjukkan keangkuhan.
Maka kasus oknum wanita ini, termasuk keharaman mengganggu ketertiban dan ketenangan masjid dengan pembicaraan yang sia-sia, disertai provokasi angkuh terhadap jama’ah masjid dengan mengaku sebagai wanita bukan Islam, mengenakan sandal dan membawa anjing ke dalam ruang utama masjid. Sikap seperti ini jelas bertentangan dengan nushush syar’iyyah wajibnya menjauhkan masjid dari segala bentuk perbuatan tersebut.
Imam al-Bukhari menyusun satu bab dalam Shahih-nya, Bab Raf’u al-Shaut fi al-Masjid (Bab tentang mengeraskan suara di masjid). Bentuk perbuatan di atas, termasuk ke dalam larangan seperti dalam riwayat berikut ini: Dari al-Saib bin Yazid, ia berkata; “Aku pernah berdiri di masjid lalu ada seseorang yang melempar krikil kepadaku. Maka aku melihat. Ternyata orang itu adalah Umar bin al-Khaththab r.a.. Kemudian ia berkata, ‘Pergilah, bawa kedua orang itu.”
Aku pun datang kepadanya dengan membawa kedua orang itu. Ia (Umar) bertanya, “Siapa kamu berdua?” atau “Dari mana kamu berdua?” Keduanya menjawab, “Dari penduduk Tha’if.” Ia berkata:
«لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
“Kalau kamu berdua berasal dari penduduk negeri ini, tentu aku mendera kamu berdua; kamu telah mengeraskan suara di masjid Rasulullah ﷺ.” (HR. Al-Bukhari)
Ancaman Umar yang akan mendera dua orang yang mengeraskan suaranya di masjid Rasulullah ﷺ, sekiranya keduanya bukan dari luar Madinah menunjukkan bahwa keduanya melakukan perbuatan yang menyalahi perbuatan yang sudah disepakati. Yang tidak dilarang dalam hal ini, jika ada hajat syar’i untuk itu, bukan provokasi keburukan, bukan pula perkataan sia-sia yang mengganggu ketertiban dan ketenangan masjid. Sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani tatkala menjamak dua hadits yang seakan-akan bertentangan menyoal mengeraskan suara di masjid, ia menyimpulkan: “Dari hadits ini (yang ia komentari) terdapat isyarat bahwa larangan berlaku dalam hal yang tidak ada faidahnya, dan tidak dilarang jika ada kebutuhan kepadanya.” (Fathul Baari I/656)
Diperjelas dengan adab mengecilkan suara lantunan al-Qur’an tatkala ada orang yang shalat di sampingnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يُنَاجِيْهِ وَ لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ»
“Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan isi munajatnya dan janganlah satu sama lain mengeraskan bacaan al-Qur’annya.” (HR. Al-Thabarani dari Abu Hurairah dan Aisyah)
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., saat Nabi ﷺ beri’tikaf di masjid beliau mendengar para sahabatnya mengeraskan bacaan Al-Qur’an. Lalu beliau membuka kain penutup dan bersabda, “Ketauhilah, sesungguhnya setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian kalian meninggikan suara bacaan atas sebagian yang lain.” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan al-Hakim)
Jika mengeraskan bacaan al-Qur’an saja diatur sedemikian rupa adab-adabnya, maka lebih utama lagi atas ucapan selainnya, terlebih tercela bagi ucapan yang mengandung provokasi dan caci maki, mengganggu jama’ah, baik yang sedang shalat maupun tidak.
Al-Hafizh Al-Nawawi (w. 676 H) dalam Al-Adzkar menguraikan bahwa ada banyak dalil yang menganjurkan membaca Al-Qur’an dengan suara keras, tapi ada pula dalil-dalil yang menganjurkan membaca Al-Qur’an dengan suara pelan. Beliau menjelaskan:
جاءت آثار بفضيلة رفع الصوت بالقراءة، وآثار بفضيلة الإِسرار
“Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan keutamaan mengeraskan suara membaca al-Qur’an, dan ada pula sejumlah riwayat yang menunjukkan keutamaan merendahkan suaranya.”[1]
Lalu bagaimana mendudukkan kedua kelompok dalil tersebut? Al-Hafizh al-Nawawi memberikan panduan:
قال العلماء والجمع بينهما أن الإسرار أبعد من الرياء فهو أفضل في حق من يخاف ذلك، فإن لم يخف الرياء فالجهر أفضل بشرط أن لا يؤذي غيره من مصل أو نائم أو غيرهما
Para ulama berkata, cara mengompromikan dua dalil tersebut adalah memelancakan bacaan Al-Qur’an bagi orang yang takut riya lebih utama. Sedangkan bagi orang yang tidak riya, maka mengeraskan suara bacaan Al-Qur’an lebih diutamakan dengan catatan tidak menganggu orang yang shalat, tidur, atau selain keduanya.[2]
Jika membaca al-Qur’an saja diatur agar hendaknya tidak mengganggu orang yang sedang shalat semisal tatkala di masjid, maka perkaranya lebih ketat lagi bagi ucapan-ucapan sia-sia yang dikeraskan dan mengganggu jama’ah masjid.
- Sandal & Anjing Masuk ke Dalam Masjid
Najis (النجسة) secara istilah fiqih, adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya ibadah shalat. Dari ketiga kategori najis: yakni najis mukhaffafah (ringan), najis mutawassithah (pertengahan), dan najis mughallazhah (berat), maka air liur anjing termasuk kategori yang ketiga. Sebagaimana ditegaskan para ulama ahli fikih, bahkan sudah ma’lum dalam kajian fikih dasar, salah satunya al-‘Allamah al-Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitab fikih, Safînat al-Najâ:
(فصل) النجاسة ثلاثه : مغلظة ومخففة ومتوسطة . المغلظة : نجاسة الكلب والخنزير وفرع أحدهما . والمخففة: بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين. والمتوسطة : سائر النجاسات.
Pasal pembahasan najis, ada tiga macam: mughallazhah, mukhaffafah, dan mutawassithah. Najis mughallazhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.
Dalam perinciannya, tata cara menyucikan najis mughallazhah dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu, namun sebelum dibasuh dengan air mesti dihilangkan terebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya, hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab fikih, termasuk kitab Safînat al-Najâ:
المغلظة : تطهر بسبع غسلات بعد إزالة عينها ،إحداهن بتراب
Najis mughallazhah disucikan dengan tujuh kali basuhan setelah dibersihkan wujud najisnya, disucikan salah satunya dengan tanah.
Sebagaimana ditegaskan Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Kâsyifat al-Sajâ Syarh Safînat al-Najâ (hlm. 162), najis bisa melekat baik pada badan, tempat, maupun pakaian. Maka wajar jika jama’ah masjid sangat cepat merespon masuknya binatang anjing yang tidak lazim masuk ke dalam ruang utama masjid, dimana di dalamnya dipelihara kesucian dan kebersihan tempat. Siapapun wajib menjaga adab ini, dan tidak boleh melanggarnya.
B. Standar Ukuran “Penistaan”
Bertolak dari adab Islam terhadap masjid, maka pelanggaran atas kemuliaannya, termasuk dalam ranah penistaan terhadap kehormatan masjid. Hal ini diperjelas dengan standar penistaan? Penistaan atau pelecehan, dalam bahasa arab dikenal dalam istilah al-istihzâ’ (الاستهزاء). Istihzâ’ itu sendiri berasal dari kata kerja haza’a-yahza’u, yang berkonotasi sakhira (melecehkan) [3]. Sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur (w. 711 H) dalam Lisân al-’Arab [4]: haza’a-yahza’u/ istahza’a bihi: sakhira (merendahkan atau menistakan).
Dimana perbuatan istihzâ’ ini mengandung pelecehan atas pihak yang dilecehkan disertai i’tiqad (keyakinan, maksud) atas pelecehannya (الاستهزاء يَقْتَضِي تحقير المستهزإ بِهِ واعتقاد تحقيره), sebagaimana ditegaskan oleh Imam Abu Hilal al-’Askari (w. 395 H).[5] Secara istilah, kata al-istihzâ’ pun digunakan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, misalnya:
وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ {١٠}
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (azab) olok-olokkan mereka.” (QS. Al-An’âm [6]: 10)
Lihat pula: QS. Al-Taubah [9]: 65, QS. Al-Baqarah [2]: 15, QS. Al-An’âm [6]: 5, dan lainnya, begitu pula dalam al-Sunnah.[6] Dan jika ditelusuri maka makna istilah yang dipakai dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun al-Sunnah tidak keluar dari makna bahasanya dalam konotasi “melecehkan” atau “menistakan”.
Bertolak dari penjelasan di atas, perbuatan oknum wanita yang masuk ke dalam ruang masjid sembari berteriak marah-marah, mengenakan sandal (menginjak sajadah) dan membawa anjing yang berlarian di dalamnya, dalam perspektif manthiq dan ushul, jelas menjadi dilalah sharihah atas penistaan terhadap tempat ibadah (masjid).
Maka sejumlah pakar pun berbicara: Anton Tabah Digdoyo: Masuki Masjid Bersepatu Dan Bawa Anjing Jelas Menista Agama. Dan Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. (Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI dan Sekjend LBH PELITA UMAT): Pendapat Hukum Terkait Seorang Wanita Diduga Masuk Masjid Dengan Mengenakan Alas Kaki Dan Membawa Anjing, sebagaimana dipublikasikan berbagai media sosial, termasuk metro.sindonews.com [Link I], dan suaramerdeka.id [LinkII]
Memperjelas bahwa perbuatan oknum ini jelas tercela, kelewat batas dan wajib diperingatkan, serta dikenai sanksi hukuman. Dalam pembahasan ushul dan manthiq, gambaran keseluruhan perbuatan oknum wanita ini jelas menjadi dilalah sharihah atas penistaan terhadap tempat ibadah. Dimana seluruh perbuatan tersebut tampak dilakukan secara sadar, mengingat dalam video terdengar debat yang ‘nyambung’ antara sejumlah jama’ah masjid dan oknum ini, hingga tatkala anjingnya kabur pun ia masih sempat mempertanyakan anjingnya yang hilang dan disebut-sebut mengancam tidak mau pulang sebelum anjing miliknya ditemukan, dalam pemberitaan:
“Bahar menyebutkan bahwa SM juga sempat marah lantaran anjing yang diusir oleh jamaah dari dalam masjid hilang dari pandangan. SM pun mengancam tidak mau pulang sebelum anjing miliknya ditemukan.” Sebagaimana diberitakan di sini: Ketua DKM Bantah Nikahkan Suami Wanita yang Bawa Anjing
C. Kebutuhan Umat Pada Khilafah: Penegakkan Sanksi, Penjaga Kemuliaan Islam
Siapa yang berwenang menegakkan sanksi hukum Islam atas pelaku penistaan? Jawabannya, jelas ulil amri (al-Imâm (Khalifah) au nâ’ibuhu) yang sah secara syar’i dibai’at untuk menegakkan hukum-hukum Islam. Jika belum ada? Maka jelas kaum Muslim wajib bersegera mengadakannya. Sebagaimana dipahami dalam ilmu ushul dengan mafhum, dilalah iltizam. Sebagaimana diutarakan oleh Imam al-Naisaburi al-Syafi’i (w. 850 H):
أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله فَاجْلِدُوا هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Umat ini (ulama) bersepakat bahwa yang diseru dari firman-Nya: “Jilidlah” adalah Imam hingga mereka pun berhujjah dengannya atas kewajiban mengangkat Imam (Khalifah), karena sesungguhnya hal dimana kewajiban takkan sempurna kecuali dengannya maka hal tersebut menjadi wajib adanya.[7]
Ketika Imam Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H), menafsirkan QS. Al-Mâ’idah ayat ke-38, beliau menegaskan:
Para ulama ahli kalam ber-hujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat, untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Allah Swt mewajibkan di dalam ayat ini menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas pelaku kriminal yang merdeka kecuali al-imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazm), dan tidak mungkin keluar dari taklif ini kecuali dengan keberadaan al-imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) al-imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti (qath’i) atas wajibnya mengangkat al-imam seketika itu pula.[8]
Dalam perinciannya, berbagai kefardhuan menegakkan hukum-hukum Islam takkan sempurna terlaksana kecuali dengan adanya Khalifah dengan sistemnya, Khilafah, maka menegakkan sistem Khilafah dan mengangkat Khalifah menjadi wajib adanya, inilah yang diulas para ulama yang lantas menguatkannya dengan kaidah syar’iyyah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Hal-hal dimana suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya pun wajib.”[9]
Al-Qadhi Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) ketika menjelaskan kaidah ini menuturkan, bahwa jika Allah sudah memerintahkan hamba-Nya untuk menunaikan suatu perbuatan dan Allah mewajibkannya, di sisi lain apa yang diperintahkan tersebut takkan tercapai sempurna kecuali dengan hal lainnya; maka hal tersebut menjadi wajib adanya.[10] Hal ini sebagaimana diungkapkan Imam al-Qarafi (w. 684 H) yang berkata:
وُجُوْبُ الوَسَائِل تبِع لِوُجُوْبِ المَقَاصِد
“Wajibnya sarana-sarana mengikuti wajibnya tujuan-tujuan.”[11]
Apa itu wasilah menurut para ulama fikih dan ushulnya? Imam al-Jurjani al-Syafi’i (w. 816 H), ditegaskan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H), mendefinisikan wasîlah yakni:
الوَسِيْلَةُ: هِيَ مَا يُتَقَرَّب بِهِ إِلى الغَيْرِ
“Wasilah yakni dimana suatu hal dihantarkan olehnya kepada hal lainnya”.[12]
Lebih jauh lagi, tegaknya kepemimpinan Khalifah dalam sistem Khilafah bisa dinyatakan sebagai wasilah tegaknya hukum-hukum Islam dalam kehidupan. Di sisi lain, mencegah penistaan demi penistaan selama ini, sudah seharusnya mengingatkan kaum Muslim pada salah satu fungsi dan tanggung jawab penguasa, yang mulia Rasulullah ﷺ menyifati penguasa (khalifah) sebagai junnah (perisai) dalam sabdanya:
«إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه»
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Karena sifat junnah dalam hadits ini tak terbatas dalam peperangan semata,[13] akan tetapi berkonotasi pula sebagai pelindung dari kezhaliman, penangkal dari keburukan sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H)[14].
Di sisi lain perlu disadari benar-benar bahwa penistaan demi penistaan yang terjadi, menunjukkan bahwa mengatasi permasalahan ini menuntut keberadaan Sistem Islam (al-Khilafah) dan penguasanya (al-Khalifah) yang menegakkan hukum-hukum Islam kaaffah, menegakkan fungsinya mencakup fungsi ri’aayah (pemelihara urusan umat) maupun fungsi junnah (perisai akidah). Karena Islam memandang penting kedudukan penguasa dan menetapkan kewajiban mengadakannya, hal itu sebagaimana disaksikan oleh dalil-dalil al-Qur’an, al-Sunnah dan aqwâl para ulama. Hingga al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) tak kelu untuk berkata:
لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا
“Harus ada bagi umat ini seorang Imam yang menegakkan al-Dîn, menolong sunnah, memberikan hak bagi orang-orang yang dizhalimi, serta menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada tempatnya.”[15]
Bahkan para ulama menyebutkannya sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان)[16], dan ia sebagaimana disebutkan Imam Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) dan lainnya:
الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لَا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لَا حارس لَهُ فضائع
“Al-Din itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”[17]
Penuturan senada disebutkan pula oleh Imam Abu al-Hasan al-Mawardi al-Syafi’i (w. 450 H)[18], , Imam al-Qal’i al-Syafi’i (w. 630 H)[19], Imam Ibn al-Azraq al-Gharnathi (w. 896 H)[20], dan lainnya. Menjaga kemuliaan Islam dan kaum Muslim, termasuk syi’ar-syi’arnya, bagian dari apa yang disabdakan Rasulullah ﷺ bersabda:
«أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban)
Imam al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i dalam hadits ini yakni pemelihara yang dipercaya atas apa yang ada padanya, Nabi ﷺ memerintahkan mereka dengan menasihati apa-apa yang menjadi tanggung jawabnya, dan memperingatkan mereka dari mengkhianatinya dengan pemberitahuannya bahwa mereka adalah orang yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Maka al-ri’âyah: adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan.[21] Dimana di antara bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan perlindungan atas mereka.[22]
Sikap ini yang setidaknya ditunjukkan oleh khalifah di masa akhir kekhilafahan Islam –meski sedang dalam kondisi terpuruk-, Turki ’Utsmaniyyah, pada abad ke-19 M, ada pertunjukan Drama karya Voltaire berjudul “Muhammad dan Kefanatikan” yang isinya menghina Nabi Muhammad ﷺ akan digelar di Paris Perancis. Maka Dubes Khalifah Turki Utsmani di Paris segera memprotes hal itu kepada penguasa Paris. Semula Penguasa Paris keberatan atas protes tersebut dan mengatakan bahwa drama itu adalah kebebasan rakyat Perancis untuk berekspresi.
Apalagi rakyat masih hangat dengan slogan Revolusi Perancis : Liberty-Egality-Fraternity. Namun karena Dubes Khalifah mengancamnya, akhirnya memaksa Penguasa Paris akhirnya membatalkan rencana pertunjukkan Drama tersebut. Kemudian grup Drama itu beralih pindah ke London untuk di pentaskan. Maka Dubes dari Sultan Abdul Hamid II dari Khilafah Turki Utsmani yang berada di London pun memprotesnya. Ketika pemerintah London mengatakan bahwa rakyat London memiliki hak untuk mengekspresikan kebebasan lebih besar daripada hak rakyat Paris, maka Dubes Khalifah mengancam bahwa umat Islam sedunia akan melakukan jihad akbar melawan pemerintah Inggris yang telah menghina Nabi Muhammad ﷺ, maka pemerintah London pun akhirnya membatalkan rencana drama yang menghina Nabi Muhammad ﷺ tersebut. (suara-islam.com, 03/02/2015)
Kasus penistaan ini, sudah seharusnya semakin mendorong pada upaya penegakkan al-Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah yang menjadi thariqah syar’iyyah penegak syari’at Islam kâffah, penjaga kemuliaan Islam dan kaum Muslim, penegak fungsi junnah (perisai) memelihara akidah umat, Allâh al-Musta’ân. []
[1] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Adzkâr, Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H, hlm. 107.
[2] Ibid, hlm. 107-108.
[3] Abu Manshur Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, Ed: Muhammad ’Iwadh, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet. I, 2001, juz VI, hlm. 196; Abu al-Qasim Mahmud bin ’Amru al-Zamakhsyari Jarullah, Asâs al-Balâghah, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet. I, 1419 H, juz II, hlm. 372; Abu Nashr Isma’il bin Hammad al-Jawhari, Al-Shihâh Tâj al-Lughah wa Shihâh al-’Arabiyyah, Beirut: Dâr al-’Ilm li al-Malâyîn, cet. IV, 1407 H, juz I, hlm. 82-83; Ahmad bin Faris al-Razi, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, Dâr al-Fikr, 1399 H, juz VI, hlm. 52.
[4] Abu al-Fadhl Jamaluddin Ibn Manzhur al-Afriqi, Lisân al-’Arab, Beirut: Dâr Shâdir, cet. III, 1414 H, juz I, hlm. 183.
[5] Abu Hilal al-Hasan bin ‘Abdullah al-‘Askari, Al-Furûq al-Lughawiyyah, Kairo: Dâr al-‘Ilm wa al-Tsaqâfah, t.t., hlm. 254.
[6] Dalam al-Sunnah, misalnya dalam hadits riwayat Muslim:
عن عبدالله بن مسعود -رضي الله عنه-: وفيه: فَقَالُوا : مِمَّ تَضْحَكُ يَا رَسُولَ اللهِ ، قَالَ : مِنْ ضَحِكِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حِينَ قَالَ : أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّي وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ؟ فَيَقُولُ : إِنِّي لاَ أَسْتَهْزِئُ مِنْكَ ، وَلَكِنِّي عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ (رواه مسلم)
[7] Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1416 H, juz V, hlm. 148
[8] Fakhruddin al-Razi, Mafâtih al-Ghayb fî al-Tafsîr, juz XI, hlm. 356.
[9] Tajuddin ‘Abdul Wahhab al-Subki, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. I, 1411 H, juz II, hlm. 88
[10] Ibid.
[11] Abu al-‘Abbas Syihabuddin Ahmad al-Qarafi, Al-Furûq: Anwâr al-Burûq fî Anwâ’i al-Furûq, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H/1998, juz I, hlm. 302.
[12] Ali bin Muhammad al-Sayyid al-Syarif al-Jurjani, Kitâb al-Ta’rîfât, Ed: Tim Pakar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1403 H, hlm. 252; Muhammad ‘Amim al-Ihsan, Al-Ta’rîfât al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003, hlm. 237; Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dkk, Mu’jam Lughat al-Fuqâhâ’, hlm. 503.
[13] Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, juz VI, hlm. 2391.
[14] Ibn al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H, juz IV, hlm. 63.
[15] Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf al-Nawawi, Rawdhat al-Thâlibîn wa ‘Umdat al-Muftîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmi, cet. III, 1412 H, juz X, hlm. 42.
[16] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1424 H, hlm. 128.
[17] Ibid.
[18] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Mawardi al-Baghdadi, Tashîl al-Nazhar wa Ta’jîl al-Zhafar fî Akhlâq al-Malik, Beirut: Dâr al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, hlm. 149.
[19] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Ali al-Qal’i al-Syafi’i, Tahdzîb al-Riyâsah wa Tartîb al-Siyâsah, Urdun: Maktabah al-Manâr, cet. I, t.t., hlm. 95.
[20] Muhammad bin ‘Ali Syamsuddin al-Gharnathiy Ibn al-Azraq, Badâi’i al-Silk fî Thabâi’i al-Mulk, Irak: Wizârat al-I’lâm, cet. I, t.t., hlm. 109.
[21] Ibn Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut: Al-Maktab al-Islami, Cet. II, 1403 H, juz X, hlm. 61.
[22] Ibid.