Mediaumat.info – Kasus pelaporan terhadap Said Didu yang mengkritik Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dinilai sebagai paradoks demokrasi.
“Inilah paradoks demokrasi. Katanya menjamin kebebasan berpendapat, namun mengapa jika rakyat kritis atas kebijakan pemerintah, justru cenderung dikriminalisasi dan akhirnya masuk penjara?” ujar Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Ahmad Sastra kepada media-umat.info, Sabtu (23/11/2024).
Sebab, lanjutnya, hak seperti yang dilakukan Said Didu ini merupakan bagian dari prinsip kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh banyak konstitusi di berbagai negara, termasuk di negeri ini.
“Pemerintah yang mendapat pengawasan dan kritik yang konstruktif akan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Ini mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat,” bebernya.
Kritik dari masyarakat, tuturnya, dapat mengidentifikasi kelemahan atau kekurangan dalam kebijakan yang ada, yang pada gilirannya dapat membantu pemerintah untuk melakukan perbaikan.
“Dalam demokrasi, partisipasi aktif masyarakat, termasuk melalui kritik, sangat penting untuk menciptakan ruang dialog antara pemerintah dan rakyat. Hal ini memperkuat kualitas demokrasi itu sendiri,” tuturnya.
Tapi faktanya kata Ahmad adalah sebaliknya, meski mengaku sebagai negara demokrasi, sering kali kekuasaan itu justru anti kritik. Kasus Said Didu adalah kasus yang entah sudah ke berapa kalinya di negeri ini.
“Tapi yang pasti, negara demokrasi sebenarnya adalah negara yang dicengkeram oleh oligarki, jadi kedaulatan rakyat hanyalah dongeng belaka. Itulah mengapa, negara demokrasi justru anti demokrasi itu sendiri, sebab negara telah dikuasai oleh oligarki kapitalis,” jelasnya.
Islam
Ahmad Sastra menilai demokrasi berbeda dengan Islam dalam hal mengkritik penguasa. Dalam Islam aktivitas mengkritik penguasa (muhasabah lil hukkam) adalah bagian dari ibadah, bahkan jihad.
Rasulullah SAW bersabda, “Jihad yang paling afdhal adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Dailami).
Karena itu, cetusnya, mengkritik penguasa atau semacam hal yang demikian menjadi jenis jihad yang paling afdhal.
“Al-Muzhhar mengatakan, tidak lain lebih afdhal karena kezaliman penguasa berlaku pada semua orang yang ada di bawah pemeliharaannya. Jika ia melarang penguasa dari kezaliman maka ia telah memberikan manfaat kepada banyak orang, berbeda dengan memerangi orang kafir,” bebernya.
Pasalnya, lanjutnya, hal itu menunjukkan kebulatan tekad orang yang melakukannya, kekuatan iman dan ketegarannya di hadapan penguasa zalim yang destruktif dan tirani yang kediktatorannya sudah dikenal, tanpa takut terhadap tirani dan kekuasaannya.
“Dengan itu ia telah menghadapkan jiwanya dalam bahaya tirani penguasa zalim itu. Dengan itu pula ia telah menjual dirinya kepada Allah SWT. Dia mengedepankan perintah dan hak Allah daripada hak dan kepentingannya sendiri,” jelasnya.
Selain itu, bebernya, kebaikan dan keburukan penguasa itu akan menentukan baik dan buruknya masyarakat. Sebabnya, sikap dan kebijakan penguasa itu berpengaruh kepada semua orang yang ada di bawah kekuasaannya. Jika penguasa zalim, rusak dan merusak, niscaya masyarakat juga rusak.
“Karena itu amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa juga mengantarkan pada baiknya masyarakat dan mencegah rusaknya masyarakat banyak selain menghindarkan masyarakat dari kezaliman. Dari situ terlihat jelas keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa zalim. Tidak aneh jika ini termasuk afdhal al-jihâd,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat