Kasus Jilbab Padang Digoreng, Advokat: Ini bentuk Fobia Islam dan Kriminalisasi Kebijakan yang Islami
Mediaumat.news – Digorengnya kasus jilbab di Padang hingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pun sampai sesumbar akan memecat orang-orang yang terlibat dalam pemaksaan siswi non Muslim untuk memakai jilbab (maksudnya kerudung) di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat, dinilai Advokat Muslim Ahmad Khozinuddin ada fobia Islam dan kriminalisasi kebijakan yang islami.
“Saya kira ada fenomena fobia Islam makin akut di satu sisi dan kriminalisasi kebijakan yang Islami di sisi yang lain pada kasus ini,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Senin (25/01/2021).
Menurutnya, banyak Perda yang bernuansa agama selain Islam, tidak pernah disoal melanggar Pancasila seperti Perda kota Injil di Manokwari. “Ada pula, satu konvensi di daerah yang dipandang local wisdom seperti tradisi perayaan Nyepi di Bali yang memaksa warga non Hindu untuk taat dan mengikuti kebiasaan itu bahkan hingga bandara juga ditutup,” ujarnya.
Anehnya, hal tersebut tak ada yang mencela itu sebagai pemaksaan. Ia juga mengatakan tak ada yang menuding itu intoleransi. “Tak ada stigma anti Pancasila, anti kebhinekaan, atau apalagi ada pejabat hingga setingkat menteri memprotes dan mengancam memberi sanksi,” tandasnya.
Namun, ia bertanya kenapa pada kasus di SMKN Padang ini menjadi heboh? “Padahal, jika diklarifikasi siswa bukan Muslim, perkara selesai. Kebijakan berpakaian Muslimah tetap berlaku, dan yang non Muslim dikecualikan,” ujarnya.
Adanya suara lantang terhadap kebijakan yang bernuansa Islam, menurutnya ini merupakan paradoks kebebasan berekspresi sekaligus beragama Islam. “Nampak kental nuansa fobia Islam sehingga semua kompak menyerang, sampai Menteri pendidikan pun ikut cawe-cawe. Bukan sembarang fobia Islam, tetapi fobia Islam yang dilegitimasi oleh negara yang ditandai dengan menteri pendidikan yang ikut bersuara,” ungkapnya.
Sementara itu, terkait pelarangan kerudung di SMA negeri di Denpasar dan Monokwari, ia menilai hal ini juga ada nuansa fobia Islam dan kriminalisasi terhadap aspirasi kebijakan yang berbasis pada semangat berperilaku islami, serta nampak jelas adanya diskriminasi. “Stigma anti Pancasila, anti Kebhinekaan, intoleransi, radikal bahkan ekstrimisme itu hanya diarahkan kepada Islam,” ujarnya.
“Sedangkan ekspresi keagamaan di luar Islam akan dipasarkan sebagai kearifan lokal (local wisdom), aspirasi keberagaman, jaminan atas eksistensi kebhinekaan dan istilah klise lainnya,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it