Mediaumat.info – Kasus dugaan manipulasi nilai atau cuci rapor dalam seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Jabar 2024 yang melibatkan 51 siswa SMPN 19 Depok baru-baru ini, dinilai terjadi karena termotivasi keyakinan orang tua murid bahwa sekolah yang baik berbanding lurus dengan masa depan anak-anak mereka.
“Orang tua, yang sering kali termotivasi oleh keyakinan bahwa sekolah yang lebih baik berarti masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka,” ujar Pengamat Pendidikan Maya Puspitasari, S.Pd., M.Sc., Ph.D. kepada media-umat.info, Rabu (31/7/2024).
Makanya, para orang tua murid yang memiliki pemikiran demikian bersedia berusaha keras supaya anaknya bisa diterima di sekolah favorit atau lembaga pendidikan papan atas.
Ditambah, sekolah favorit juga dengan sengaja dilestarikan menjadi budaya dalam pencarian sekolah lanjutan. Bahkan setelah menyadari sifat kompetitif penempatan sekolah, gurunya pun terkadang berkolusi dalam manipulasi nilai tersebut.
“Sekolah dan guru, yang menyadari sifat kompetitif penempatan sekolah, terkadang berkolusi dalam manipulasi ini,” ungkap Maya.
Artinya, sekolah, guru, siswa maupun orang tua berpotensi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang diinginkan termasuk memanipulasi nilai seperti yang dilakukan oleh SMPN 19 Depok.
Persaingan Sekolah
Di tengah euforia sekolah favorit, sekolah seringkali bersaing mendapatkan reputasi yang lebih tinggi.
“Sekolah sering kali bersaing untuk mendapatkan peringkat dan reputasi yang lebih tinggi, yang dapat didukung dengan mendaftarkan siswa yang dianggap lebih mampu secara akademis atau dari latar belakang yang lebih kaya,” kata Maya menerangkan.
Bagi sekolah dan guru, motivasinya bisa berupa finansial dan reputasi. “Menerima suap atau memanipulasi data dapat memberikan keuntungan finansial langsung bagi pejabat sekolah,” tambahnya.
Akhirnya hal ini akan menciptakan insentif yang menyimpang bagi sekolah untuk terlibat dalam praktik manipulatif, yang merusak integritas sistem pendidikan. Termasuk bagaimana suatu sekolah digolongkan menjadi sekolah favorit atau tidak.
Sebutlah berkenaan akreditasi sekolah di negeri ini yang menurut Maya, menjadi salah satu instrumen utama mengukur kualitas pendidikan. Sistem ini dirancang untuk menilai dan mengevaluasi berbagai aspek operasional sekolah, termasuk kurikulum, fasilitas, tenaga pengajar, dan hasil belajar siswa.
Alhasil, ketika sekolah-sekolah menggunakan hasil akreditasi sebagai alat promosi untuk menarik perhatian calon siswa dan orang tua, pendekatan ini bisa menimbulkan permasalahan terutama di saat nilai akreditasi tinggi tak mencerminkan pengalaman pendidikan yang berkualitas.
Maknanya, calon siswa dan orang tua mungkin mendapatkan kesan yang keliru tentang kualitas sebenarnya dari pendidikan yang ditawarkan. Mengingat akreditasi sering kali lebih menekankan aspek administratif daripada efektivitas pendidikan di dalam kelas.
Begitu juga dengan sekolah dengan nilai akademik tertinggi pada ujian, seperti halnya informasi terkait 100 sekolah dengan nilai UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) di dalam situsnya masih sering dijadikan sebagai referensi orang tua dalam mencari sekolah anak.
“Tidak sedikit media elektronik juga menggunakan informasi tersebut sebagai judul berita menjelang PPDB,” bebernya.
Bahkan tak jarang pula, sekolah juga menjadikan jumlah siswa yang berhasil masuk ke sekolah atau perguruan tinggi negeri tertentu dipajang menjadi alat promosi.
“Apa yang dilakukan oleh SMPN 19 dalam memanipulasi nilai rapor bisa jadi bukan kasus satu-satunya,” singgungnya kembali.
Berikutnya, faktor yang menjadikan sekolah tergolong favorit atau tidak, dilihat dari prestasi non akademik semisal di bidang olahraga maupun kesenian.
“Dipajangnya berbagai trofi atau penghargaan di bidang olahraga maupun seni juga menjadi tolok ukur menentukan kualitas sebuah sekolah,” tandasnya, seputar prestasi siswa yang juga dijadikan sebagai salah satu pintu masuk ke sekolah atau perguruan tinggi negeri.
Padahal, sebagaimana dugaan kasus cuci rapor, tidak sedikit sekolah yang melakukan manipulasi terhadap prestasi siswanya.
Lantas dampak buruknya, sangat berpotensi terjadi penumpukan murid dan guru di beberapa tempat, sementara minim di sekolah lain. Maknanya, seperti dilansir detik.com (17/7) tentang maraknya sekolah di Jatim sepi siswa baru, kekurangan murid bahkan dilaporkan oleh beberapa sekolah di tahun akademik 2024/2025 ini.
Dengan demikian, pemerataan pendidikan yang diinginkan pemerintah akhirnya tidak bisa terwujud di era kapitalisme yang menurut Maya, bersifat mengikis keimanan individu terutama kepada komponen dasar pelaku pendidikan yaitu kepala sekolah, guru, dan orang tua.
Pemerintah Tak Mampu
Hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah berikut sistem zonasinya belum mampu untuk menghilangkan ‘favoritisme’ sekolah. Buktinya, masih banyak orang tua yang berlomba untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tertentu.
“Banyak orang tua yang putus asa untuk mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah terkemuka, pada akhirnya menggunakan alamat palsu agar masuk dalam zona sekolah yang diinginkan,” ulasnya.
Malahan, pungkasnya, beberapa orang tua bahkan menyewa akomodasi sementara atau menggunakan alamat kerabat untuk menipu pihak berwenang. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat