Karut-marut Pengelolaan Tambang Tidak akan Terjadi Jika Syariat Islam Diterapkan

Mediaumat.info – Pengamat Ekonomi Syariah Dr. Nuhbatul Basyariah, S.E.I., M.Sc. menyatakan pengelolaan tambang kian karut-marut dengan lahirnya kebijakan yang melegalkan ormas terlibat ikut serta dalam pengelolaan, hal itu tidak akan terjadi dalam negara yang menerapkan syariah Islam (khilafah).

“Karut-marutnya pengelolaan tambang tidak akan terjadi dalam negara yang menerapkan syariah Islam (Khilafah). Khalifah (kepala negara khilafah) sebagai penguasa yang terpilih akan menerapkan syariat (niyabah ‘anil ummat) pada seluruh bidang kehidupan termasuk bidang ekonomi dan tambang,” ujarnya dalam dalam Live Discussion Fanpage MuslimahNewscom: Mengizinkan Ormas Kelola Tambang, Bertentangan dengan Syariah, Jumat (7/6/2024).

Sebab, jelasnya, pemimpin negara dalam Islam (khalifah) sebagai penguasa yang terpilih, akan menerapkan syariah (niyabah ‘anil ummat) pada seluruh bidang kehidupan termasuk bidang ekonomi dan tambang.

“Khalifah wajib melaksanakan aturan syariah dalam segala aspek kehidupan bernegara. Mulai dari aspek pemerintahah, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sanksi sosial, dan bidang kehidupan lainnya,” tambahnya.

Ia mengatakan, khalifah berkewajiban menegakkan sistem ekonomi Islam dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pengelolaan urusan rakyatnya.

Tiga Hukum

Menurut Nuhbatul, syariat Islam mengatur tiga hukum yang berkaitan dengan ekonomi. Pertama, perkara kepemilikan (al-milkiyah).  Dalam hal ini, Islam mengatur ada tiga bagian kepemilikian, yaitu kepemilikan inividu (milkiyah fardiyah), kepemilikian umum (milkiyah ‘ammah), dan kepemilikan negara (milkiyah daulah).

Kedua, pemanfaatan kepemilikan (at-tasharuf fil milkiyah). “Ini terkait dua hal, yaitu penggunaan harta (infaqul mal), dan pengembangan harta (tanmiyatul mal),” Nuhbatul menjelaskan.

Ketiga, distribusi kekayaan di tengah manusia (tauzi’u tsarwah baynannas). Akan ada dua cara distribusi yang dijalankan oleh negara, yaitu distribusi ekonomis, dan non-ekonomis.

Adapun sumber harta kepemilikian individu (milkiyah fardiyah), bisa diperoleh oleh setiap individu masyarakat dari hasil pekerjaannya (upah/gaji), hibah, waris, maupun pemberian negara secara cuma-cuma.

“Negara akan memberlakukan pasar syariah dalam aktivitas ekonomi dengan mata uang emas demi untuk mendapatkan barang dan jasa. Baik rumah tangga maupun perusahaan akan berjalan produktif, para pekerja mendapatkan upah, maupun bagi hasil,” lanjutnya.

Negara juga tidak akan lepas tangan dalam memproduktifkan aktivitas ekonomi masyarakat atau membiarkannya berjalan tanpa pengaturan yang benar. Demi memelihara produksi tetap berjalan di pasar, maka negara harus menyediakan lahan yang memadai, menyerap tenaga kerja, hingga kemungkinan terjadinya transaksi syirkah.

“Sementara harta kepemililkian umum (milkiyah ammah) meliputi tiga sumber. Pertama, barang yang menjadi kebutuhan umum. Kedua, tambang dalam jumlah besar. Ketiga, barang yang tidak dapat dimiliki individu. “Dan semua ini harus dikelola oleh negara,” katanya lagi.

Selanjutnya harta milik negara (milkiyah daulah), akan diperoleh dari sumber pemasukan negara seperti jizyah, kharaj, ghanimah, fa’i, usyur, 20% rikaz, harta tanpa ahli waris, harta orang murtad, dan berbagai bangunan milik negara. Pengelolaan semuanya juga harus dilakukan oleh negara.

Sektor pertambangan sumber daya alam yang besar sebagai harta yang kepemilikannya diserahkan kepada rakyat (milkiyah ammah), Islam mewajibkannya agar dikelola oleh negara. Pengaturan tersebut tertuang dalam hadits Nabi Muhammad SAW sebagai dasar hukum kepemilikian umum (milkiyah ammah).

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang sedang engkau berikan padanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu seperti air yang mengalir. Rasulullah SAW kemudian menjawab, tariklah tambang tersebut darinya,” tutur Nuhbatul.

Hadits tersebut, menurut Nuhbatul, merupakan penjelasan rinci dari hadits lain yang menyebutkan bahwa umat Islam (masyarakat dalam sebuah negara Islam), berserikat dalam kepemilikan umum yang meliputi air, api, dan pdang rumput (Al-Muslimuna syuroka’u fii tsalatsin, fil kalaai, walmaai, wannari). Dan ketiganya adalah harta kebutuhan umum (sumber daya air, hutan, padang rumput, energi)

Ia menjelaskan, tambang besar yang merupakan harta kepemilikan umum (milkiyah ammah), dan wajib dikelola oleh negara, contohnya adalah tambang emas, tambang perak, tambang tembaga, tembaga nikel, tembang bauksit, tambang bijih besi, tambang timah, tambang kuarsa.

“Dan barang yang tidak mungkin dimiliki oleh individu, meliputi jalan, jembatan, danau, sungai, gunung, bukit, serta lautan,” ujarnya.

Nuhbatul juga menyebutkan, pemaanfaatan dan pengembangan harta kepemilikian umum (milkiyah ammah), dapat dibagi dalam dua bagian.

Pertama, bagian yang mudah dimanfaatkan secara langsung. Seperti, penggunaan jalan, jembatan, laut. Dalam hal ini, negara sebagai pengembang yang mengawasi dan mengatur. Selanjutnya, tidak mudah dimanfaatkan secara langsung. Misalnya tambang, minyak bumi, air minum, gas, listrik. Di sini, negara sebagai pengelola agar bisa dimanfaatkan secara bersama oleh rakyat,” terangnya.

Dengan demikian, terang Nuhbatul, ketika diketahui hakikah tambang itu milik rakyat dan negara adalah wakil dalam pengelolaannya, maka menyerahkan hak itu kepada swasta apalagi Ormas merupakan bentuk pelanggaran hukum syara’. Dan berpotensi mengantarkan pada kerusakan, ketidakadilan, dan kesengsaraan.

Selanjutnya, jelas Nuhbatul, bentuk pengelolaan tambang adalah melalui konsep wakalah, yang menurut bahasa adalah menyerahkan atau menjaga. Sedangkan menurut syara’ adalah tindakan seseorang menyerahkan urusannya kepada orang lain pada urusan yang dapat diwakilkan, agar orang lain itu mengerjakan urusan tersebut.

Wakalah hukumnya boleh, harus terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun syara’ wakalah sama dengan rukun syarat muamalat lainnya,” terangnya.

Wakil tidak berhak mewakilkan lagi kepada orang lain pada pekerjaan yang dilakukan kecuali atas izin muwakkil. Tidak bisa diserahkan pada individu, swasta melalui lelang/ tender, bahkan pemberian hak pada ormas karena alasan tertentu, apalagi asing penjajah.

Kemudian, apabila wakil merasa tidak mampu dan hendak mengalihkan perwakilan pada yang lain maka hendaklah melepaskan akad wakalahnya dan mengembalikan pada pihak yang diwakili.

“Artinya, jika pemerintah/ penguasa merasa tidak mampu dalam pengelolaan tambang maka hendaklan ia melepaskan akad niyabah/ perwakilan pada rakyat (mundur dan serahkan kekuasaan pada umat) agar dipilih orang yang kompeten,” jelas Nuhbatul.

Hanya dengan penerapan syariah Islam, pengelolaan Tambang Akan Penuh Tanggung Jawab Negara

Tanggung Jawab Utama

Tanggung jawab utama negara dalam perspektif syariat Islam adalah hadirnya peran politik ekonomi dalam mengelola urusan rakyat.

“Imam (khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Melaksanakan politik ekonomi Islam untuk menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk barang tambang sebagai sumber energi,” terang Nuhbatul.

Negara sebagai pengelolaan atas harta milik umat, dijalankan agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum, mengatur distribusi atas kekayaan milik umat, melakukan pengawasan dan menegakkan sanksi yang berefek jera kepada pelaku kejahatan tambang, serta mengangkat qadhi hisbah.

“Tanggung jawab ini tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, apalagi korporasi,” pungkasnya. [] M. Siregar

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: