Pada 2015, mendiang Presiden Burundi saat itu, Pierre Nkurunziza, yang juga pemimpin partai yang berkuasa National Council for the Defense of Democracy-Forces for the Defense of Democracy (CNDD-FDD) mengumumkan untuk mengupayakan masa jabatan ketiga. Pengumumannya dan pemilihannya kembali menyebabkan berbagai aksi demonstrasi, pertumpahan darah, dan pengungsi yang penuh sesak di Tanzania.
***** ***** *****
Menurut Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Tanzania saat ini menampung 162.859 pengungsi Burundi di tiga kamp, yaitu Nduta, Nyarugusu dan Mtendeli di wilayah Kigoma dekat perbatasan Burundi.
Para pengungsi yang tidak bersalah melarikan diri ke Tanzania dengan harapan menemukan keselamatan, tetapi semua itu masih mimpi buruk, sebab negara tuan rumah, selama beberapa bulan terakhir, menurut para pengungsi itu sendiri, para pekerja bantuan dan kelompok hak asasi, bermaksud untuk mengembalikan mereka ke Burundi meskipun ketakutan untuk hidup mereka terus berlanjut.
Diketahui bahwa negara tuan rumah didanai untuk menampung para pengungsi, dan begitu dana yang disediakan tidak mencukupi, mereka menyatakan tidak mampu menampung mereka. Pemerintah Tanzania telah mengumumkan untuk menarik diri dari Kerangka Kerja Respon Pengungsi Komprehensif, dengan alasan “keamanan dan kurangnya dana”.
Program pengungsi Burundi kekurangan dana, hanya 17% dari anggaran 150,7 juta dolar, namun menyebabkan memburuknya kondisi di kamp dan membuat mereka kehilangan akses mata pencaharian.
Akibatnya, memaksa para pengungsi untuk memilih kembali ke Burundi sekalipun kondisi tidak menjamin keamanan.
Menurut Human Rights Watch, beberapa pengungsi yang meninggalkan Tanzania pada Agustus 2018 menyebutkan ketakutan mereka akan penangkapan, dan kemungkinan penghilangan serta pembunuhan di dekat kamp pengungsi, sebagai alasannya. Human Rights Watch juga mengatakan memiliki informasi yang dapat dipercaya bahwa “mereka yang hilang pasti diancam sebelum mereka menghilang” (www.newframe.com, 10/09/2020).
Selain itu, penghilangan dan penculikan adalah masalah populer di Tanzania sejak 2015, bahkan suara-suara telah meningkat secara luas, dan yang mengejutkan bahwa para pengungsi juga menjadi korban dari hal ini, tetapi UNHCR maupun pemerintah Tanzania tidak menanggapi hal tersebut dengan serius.
Penderitaan para pengungsi ini jelas menunjukkan bahwa Kapitalisme hanya peduli pada kepentingannya sendiri, bahkan setelah menyebabkan banyak penderitaan bagi para pengungsi yang tidak bersalah, mereka pun hanya peduli pada kesejahteraannya sendiri.
Skenario ini adalah hasil dari boneka kolonialis di Burundi dan di tempat lain di negara berkembang, di mana mereka memimpin perang saudara dan konflik politik yang tidak pernah berakhir, yang menyebabkan pertumpahan darah dan ketidakstabilan demi melindungi tuannya, kepentingan pribadi dan keserakahannya untuk kekuasaan dengan mengorbankan rakyatnya sendiri. Negara-negara kolonialis kapitalis melalui para penguasa anteknya di Afrika dan di tempat lain, bahwa mereka menghasilkan uang dari konflik dengan menjarah kekayaan secara bebas, sehingga membuat penduduk asli dalam kemiskinan dan ketidakpastian yang ekstrim.
Rakyat Burundi dan semua negara berkembang tidak akan pernah aman, bebas, dan benar-benar menikmati hidup mereka, jika dominasi Kapitalisme terus berlanjut. Ini adalah waktu yang tepat untuk mencabut Kapitalisme dan semua sistemnya, kemudian menggantinya dengan ideologi Islam yang memiliki kapasitas untuk menjamin keamanan, kebahagiaan dan keadilan sejati bagi semua orang di bawah naungan negara Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah. []
sumber: hizb-ut-tahrir.info, 18/09/2020.