Oleh: Yuli Sarwanto (Analis FAKTA)
Presiden Turki Tayyip Erdogan membantah bahwa Turki berada dalam krisis mata uang. Ia menolak jatuhnya nilai mata uang Turki, lira, sebagai ‘fluktuasi’ yang tidak ada hubungannya dengan fundamental ekonomi. Pernyataan ini disampaikan Erdogan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menggandakan tarif pada impor baja dan aluminium Turki. Erdogan menggambarkan penurunan terendah lira hingga 18 persen pada Jumat (10/8) sebagai ‘rudal’ perang ekonomi yang dilancarkan terhadap Turki. Erdogan mengatakan pihak-pihak yang gagal melakukan kudeta pada 2016 saat ini mencoba menargetkan Turki melalui ekonominya. Erdogan berjanji bahwa Turki akan melawan itu. (republika.co.id, 12/8/18)
Inilah fakta kegagalan sekulerisme di Turki. Erdogan mendapatkan tantangan dibuktikan dengan pernyataannya: “Mereka yang tidak bisa bersaing dengan kami di lapangan telah membawa petak-petak uang fiktif online yang tidak ada hubungannya dengan realitas negara kami, produksi dan ekonomi riil,” kata Erdogan pada pertemuan provinsi Partai AK di kota pesisir Laut Hitam, Rize. “Negara ini tidak runtuh, tidak hancur atau bangkrut atau dalam krisis,” tambahnya.
Pernyataan Erdogan paradoks dengan kenyataan, ia masih mempertahankan sistem sekuler di Turki. Kemajuan ekonomi yang dicapai Turki pun tidak membuat tingkat kesejahteraan terdistribusi dengan baik. Dalam 10 tahun terakhir rata-rata tingkat pengangguran terbuka negara dengan populasi di atas 50 juta jiwa. Ketimpangan ekonomi Turki hampir sama dengan Indonesia.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonominya, juga ambisinya menjadi bagian dari Uni Eropa, Turki secara massif melakukan liberalisasi ekonomi, termasuk di sektor perdagangan dan investasi. Bahkan menurut Pemerintah Amerika Serikat, Turki merupakan salah satu negara yang paling liberal dari sisi regulasi di antara negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam menarik investasi langsung dari negara luar negeri. Peraturan investasi di negara itu dianggap sangat sederhana dan sesuai dengan strandar internasional. Semua investor di negara itu, investor lokal maupun asing, diperlakukan sama baik Pemerintah juga tidak membatasi atau mengontrol investasi pada sektor-sektor tertentu. Dengan kata lain, regulasi investasi di negara itu sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh WTO; tidak ada regulasi yang menghambat akses investasi di negara itu.
Di sektor perdagangan, Turki gencar menggalang kerjasama pasar bebas (free trade) dengan berbagai negara. Hingga saat ini, 60 persen mitra dagang Turki adalah negara-negara Eropa terutama dengan negara-negara yang tergabung dengan Uni Eropa yang mencapai 40 persen. Selain karena letak geografis yang berdekatan, sejak tahun 1995 Turki juga telah ikut dalam perjanjian perdagangan bebas di kawasan tersebut (European Free Trade Assosiation).
Selain bersumber dari utang, Pemerintah Turki juga terus melakukan privatisasi sektor publik dalam skala besar untuk membiayai defisit APBN-nya. Tujuan lain dari program privatisasi tersebut adalah komitmen Pemerintah untuk meminimalkan perannya dalam perekonomian. Pada tahun 2012, misalnya, Pemerintah menawarkan penjualan 100 persen saham Başkent Natural Gas, perusahaan distribusi gas terbesar kedua di Turki, serta menawarkan pengelolaan proyek-proyek jalan tol, pembangkit listrik dan bandar udara kepada swasta. Di antara program privatisasi yang cukup besar adalah penjualan 55 persen saham Turk Telekom kepada Oger Telekomünikasyon, perusahaan patungan Italia dan Saudi pada tahun 2005 lalu. Selain itu, 15 persen lainya dijual ke publik. Hingga saat ini sejumlah proyek dan asset Pemerintah juga telah masuk dalam daftar untuk diprivatisasi.
Kondisi ekonomi yang dilalui oleh Turki saat ini tak banyak berbeda dengan negara-negara kapitalis yang masuk dalam kategori negara-negara berkembang seperti Cina, Afrika Selatan, Brazil dan Indonesia. Perekonomian negara-negara ini dalam beberapa masa tumbuh tinggi sehingga dipuja sedemikian rupa. Namun demikian, pertumbuhan tersebut dalam kenyataannya tidak berlangsung secara berkesinambungan akibat tekanan berbagai krisis baik yang terjadi dari dalam negeri maupun akibat imbas dari negara atau kawasan ekonomi lainya. Performa ekonomi yang tampak kuat yang ditandai dengan berkilaunya indikator-indikator ekonomi makronya dengan mudah redup oleh hantaman krisis. Di sisi lain, kemajuan ekonomi tidak membuat distribusi ekonomi semakin baik. Sebaliknya, kesenjangan ekonomi semakin lebar.
Sistem yang digunakan Turki di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komoditi yang bersangkutan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli, adalah sistem yang batil dan menimbulkan masalah, bukan sistem yang bisa menyelesaikan masalah, dimana naik dan turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah terima, bahkan tanpa adanya komiditi yang bersangkutan. Semuanya itu memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar. Begitulah, berbagai kerugian dan keuntungan terus terjadi melalui berbagai cara penipuan dan manipulasi. Semuanya terus berjalan dan berjalan, sampai terkuak dan menjadi malapetaka ekonomi.
Perkara penting, yaitu ketidaktahuan akan fakta kepemilikan. Kepemilikan tersebut, di mata para pemikir Timur dan Barat, adalah kepemilikan umum yang dikuasai oleh negara, sebagaimana teori Sosialisme-Komunisme, dan kepemilikan pribadi yang dikuasai oleh kelompok tertentu. Negara pun tidak akan mengintervensinya sesuai dengan teori Kapitalisme Liberal yang bertumpu pada pasar bebas, privatisasi, ditambah dengan globalisasi. Jika tdak melakukan perubahan secara sistemik dan rezim, Turki makin terpuruk.[]