Kapal Induk Inggris Merapat di Singapura, untuk Apa?

Mediaumat.news – Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana menduga merapatnya kapal induk Inggris HMS Queen Elizabeth di perairan Singapura untuk menjaga kepentingan Inggris dan sekutunya.

“Dengan meningkatnya eskalasi politik di kawasan laut Cina Selatan, kehadiran kapal induk Inggris ini dapat diduga untuk ikut terlibat dalam kerangka menjaga kepentingan Inggris dan sekutunya,” ujar Budi kepada Mediaumat.news, Jumat (15/10/2021).

Menurut Budi, secara normatif, sebenarnya merapatnya kapal induk Inggris tersebut merupakan suatu hal yang wajar, selama memenuhi kaidah-kaidah hukum internasional, terutama yang diatur dalam UNCLOS.

Sebagai negara maritim yang memiliki wilayah overseas, lanjut Budi, pastinya Inggris menjaga dengan melakukan patroli laut. Selain itu Inggris juga negara pemimpin The Commonwealth of Nations yang akan tetap menjaga pengaruhnya di negara-negara bekas jajahannya.

“Dan beberapa wilayah overseas-nya Inggris dan beberapa negara commonwealth posisinya secara geografis dekat dengan lautan Indonesia,” sebut Budi.

PD III?

Budi menilai, saat ini masih terlalu dini untuk memprediksi terjadinya Perang Dunia III yang melibatkan Amerika Serikat dan sekutunya, salah satunya adalah Inggris untuk melawan Cina.

Menurutnya, Cina memang merupakan emerging power yang berusaha meningkatkan leverage politiknya ke level global. Namun demikian, walaupun Cina adalah negara komunis secara politik, tapi secara ekonomi Cina adalah negara kapitalis dan masih berkiblat kepada kapitalisme global yang dipimpin oleh Amerika Serikat.

“Konflik yang terjadi barulah konflik kepentingan semata, dalam kerangka nation state yang kebetulan bertabrakan di kawasan Laut Cina Selatan. Bukan konflik ideologis yang akan memicu sebuah perang besar yang dinamai Perang Dunia,” beber Budi.

Pengekor

Budi menyebut, negeri-negeri Muslim yang ada di kisaran Laut Cina Selatan saat ini posisinya masih sebagai pengekor negara-negara besar dan negara-negara adidaya yang terlibat konflik di kawasan tersebut. Ibarat para pelanduk berada di antara gajah-gajah yang sedang bertarung, pasti akan terseret dalam pusaran kepentingan politik negara-negara adidaya tersebut.

Budi berpendapat, yang bisa dilakukan negeri-negeri Muslim di kisaran Laut Cina Selatan saat ini adalah wait and see, dan melihat kekuatan mana yang secara pragmatis akan menguntungkannya. Walau mungkin secara historis ada ikatan seperti Malaysia dan Brunei dengan Inggris sebagai negara mantan penjajahnya.

Dan Indonesia, sebagai negara yang memiliki potensi dari luas wilayah dan jumlah penduduk, semestinya memberikan peran yang signifikan dalam penyelesaian konflik yang terjadi.

“Namun lagi-lagi, karena kepentingan pragmatisme politik dan ketiadaan visi ideologi yang global, maka Indonesia pun sepertinya akan turut terseret kepentingan negara-negara besar dan adidaya tersebut,” pungkas Budi.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: