Pengantar: Inilah drama pembasmian etnis yang demikian besar pasca tragedi Bosnia. Ratusan orang dibunuh dengan biadab oleh junta militer Myanmar di tengah belalak mata dunia. Anehnya dunia diam membisu dan membiarkan kaum Muslim dihabisi militer yang didukung para biksu Budha. Mengapa ini bisa terjadi?
Kamuflase Tragedi Genosida Muslim Rohingya
Eksistensi militan ARSA baru mengemuka pada tahun 2016, sementara tindakan ethnic cleansing terhadap Muslim Arakan sudah berlangsung bertahun-tahun.
Aksi pembersihan etnis terhadap Muslim Rohingya bisa jadi tragedi kemanusiaan terbesar di abad milenium setelah konflik Suriah. Secara sistematis pemerintah Myanmar disokong kelompok ekstrimis Budha, melakukan operasi genosida terhadap warga Rohingya. Muslim warga Arakan di Myanmar itu bukan sekadar mengalami pengusiran dari tempat tinggal mereka, atau pemusnahan kampung-kampung mereka, namun juga pembantaian yang kejam.
Sejumlah media massa asing seperti BBC dan al-Jazeera melaporkan kondisi korban yang mengenaskan. Anak-anak mati dengan kepala terpenggal, kaum perempuan mengaku mengalami pemerkosaan dan juga pembunuhan. Saksi mata yang selamat menceritakan, militer Myanmar menyuruh Muslim Rohingya masuk ke dalam rumah, mengunci mereka lalu melontari rumah itu dengan bom hingga luluh lantak bersama warga yang disekap di dalamnya. Foto-foto dan video yang beredar memperlihatkan bukti-bukti kekejaman militer Myanmar.
Tidak hanya disitu, militer Myanmar juga memburu mereka yang melarikan diri ke perbatasan India dan Bangladesh. Tentara menembaki mereka dan memasang ranjau di kawasan perbatasan. Operasi militer itu menguatkan pernyataan PBB bahwa terjadi ethnic cleansing atas warga Arakan secara masif dan sistematis.
Siasat Mengkamuflase
Menyadari operasi militer mereka menuai banyak kecaman, pemerintah Myanmar di bawah kepemimpinan Aung San Su Kyi melancarkan siasat politik. Mereka memanipulasi fakta politik yang terjadi. Pertama, rezim Myanmar menyatakan bahwa Muslim Rohingya bukan etnis asli Myanmar sehingga menjadi alasan ‘sah’ bagi pemerintah dan warga ‘asli’ Myanmar melakukan tindakan pengusiran.
Kedustaan ini sebenarnya telah lama dilakukan oleh rezim Myanmar, bahkan semenjak pendudukan Inggris di Burma sebelum menjadi Myanmar. Kala itu dalam rangka melemahkan perlawanan penduduk pribumi, kolonial Inggris merekayasa konflik antara warga Budha dengan Muslim Arakan. Konflik ini berkelanjutan sehingga membuat umat Muslim Rohingya mengalami pengusiran dan penindasan sehingga membuat banyak warga Rohingya melarikan diri ke kamp pengungsian di India dan Pakistan. Hal inilah yang menyebabkan mereka ditolak hak warga negaranya untuk kembali ke Burma dan terjadilah penolakan terhadap Muslim Rohingya.
Sejak periode itulah Muslim Rohingya menyandang status manusia tanpa negara. Muslim Rohingya dikucilkan. Pada 1962 Jenderal Ne Win melakukan penindasan secara sistematis terhadap Rohingya dengan membubarkan organisasi politik dan sosial mereka. Puncaknya pada tahun 1982 dalam hukum kewarganegaraan yang diberlakukan tahun 1982, status kewarganegaraan etnis Rohingya ditolak. Padahal tahun 2013 saja, ada 1,3 juta Muslim Rohingya yang mendiami Rakhine Myanmar, dengan populasi 80-98 persen penduduk.
Faktanya sejumlah sejarawan telah mencatat bahwa Muslim Rohingya adalah warga asli Burma atau Myanmar sekarang. Peneliti asal Skotlandia, Francis Buchanan, mengungkapkan, kaum Mohammedan (yang secara harfiah berarti pengikut Muhammad atau Muslim) telah lama menetap di Arakan. “Orang-orang itu menyebut diri mereka sebagai Rooinga yang berarti masyarakat pribumi asli Arakan,” tulis Buchanan dalam laporannya, “Asiatic Research 5”, yang diterbitkan pada 1799.
Sementara tiu, sebagaimana dilansir Republika, Ahad (31/5), sensus yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris di Burma pada 1826, 1872, 1911, dan 1941 juga menyebutkan, masyarakat Rohingya yang diidentifikasi sebagai Muslim Arakan adalah salah satu ras asli di Burma.
Dengan demikian klaim bahwa Muslim Rohingya adalah bukan etnis asli Myanmar dan ilegal adalah penyesatan opini yang dikembangkan pemerintah Myanmar.
Kedua, pemerintah Myanmar belakangan menyatakan operasi militer yang mereka lakukan adalah sebagai tindakan mempertahankan diri dari serangan kaum teroris, Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA). Pemerintah Myanmar menyatakan kalau ARSA sudah mengancam keamanan dalam negeri karena melakukan penyerangan terhadap sejumlah pos keamanan dan tengah mencoba mendirikan “Negara Islam” serta berkolaborasi dengan ISIS.
Pernyataan rezim Myanmar ini klaim sepihak yang sulit dibuktikan kebenarannya. Lagi pula isu eksistensi militan ARSA baru mengemuka pada tahun 2016, sementara tindakan ethnic cleansing terhadap Muslim Arakan sudah berlangsung bertahun-tahun. Andaipun keberadaan ARSA benar, tidak bisa menjadi legitimasi tindakan genosida kejam pada umat Muslim Rohingya yang terjadi bertahun-tahun.
Sementara itu di luar Myanmar, pembantaian terhadap Muslim Rohingya juga dimanipulasi dengan menghilangkan fakta terjadinya pembasmian Muslim Rohingya, menjadi konflik kemanusiaan. Opini ini juga berkembang di tanah air. Media massa mainstream, kaum liberal dan sejumlah politisi menyatakan persoalan di Myanmar bukanlah konflik keagamaan. Muhaimin Iskandar, Ketua PKB, mengatakan kekerasan yang terjadi tidak ada kaitannya dengan konflik umat Islam dengan Budha.
Namun seperti hendak membantah statemen asbun itu, pemimpin tertinggi Katolik Paus Fransiskus menyebut Rohingya disiksa dan dibunuh hanya karena ingin hidup menjalani keyakinan Muslim mereka. “Mereka (Rohingya-red) menderita bertahun-tahun, mereka disiksa, dibunuh hanya karena mereka ingin menjalani budaya dan keyakinan Muslim mereka,” ujar Paus Fransiskus.
Faktanya, Biksu Wirathu dengan gerakan 969 yang didukung mayoritas warga Budha Myanmar melancarkan aksi keji mereka memang untuk ‘membersihkan’ Myanmar dari umat Muslim. Untuk itu mereka tak segan-segan mempraktekkan penjagalan terhadap orang dewasa dan anak-anak, memperkosa kaum perempuan dan membunuh bayi-bayi mereka. Jadi, ini memang benar konflik bermotifkan kebencian terhadap umat Muslim.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 204