Mediaumat.news – Pengamat Politik Luthfi Afandi menilai sepanjang tahun 2020 pemerintahan Jokowi-Ma’ruf gagal total dalam mewujudkan janji politiknya.
“Memasuki tahun kedua pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, kondisi politik di Indonesia tidak jauh lebih baik, bahkan cenderung lebih buruk, dibandingkan periode pertama Jokowi-JK. Analisa saya, mengacu kepada misi yang dijanjikan secara tertulis pada kampanye 2019 lalu. Misi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dalam bidang politik dan pemerintahan menurut catatan saya, gagal total! ” tuturnya ketika menyampaikan kaleidoskop politik 2020 kepada Mediaumat.news, Jumat (18/12/2020).
Pertama, Jokowi-Ma’ruf berjanji akan melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga. Ia menilai ini jelas tidak terwujud, bahkan yang terjadi sebaliknya. Alih-alih melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman, yang terjadi saat ini malah masyarakat selalu dibayangi ketakutan.
“Saat ini tidak jarang, pihak-pihak yang kritis dan berseberangan dengan rezim terancam dipidanakan. Terlalu banyak contohnya. Mulai penangkapan aktivis KAMI, kriminalisasi para dai yang kerapkali melakukan amar makruf nahi mungkar, pembunuhan 6 orang aktivis FPI, hingga penangkapan HRS yang terlihat jelas sangat dipaksakan dan dicari-cari kesalahannya,” beber Luthfi.
Bahkan, lanjutnya, yang tidak kalah menyedihkan adalah dihentikannya program ILC (Indonesia Lawyer Club) di sebuah stasiun televisi swasta, yang seringkali mengangkat tema-tema yang sensitif dengan menghadirkan narasumber yang kritis. “Jadi, janji Jokowi-Ma’ruf untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga, hanyalah omong kosong belaka,” ujarnya.
Kedua, Jokowi-Ma’ruf juga berjanji melakukan pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya. Menurutnya, janji ini pun hanya indah di atas kertas, tetapi kosong dalam realitas.
“Bagaimana tidak, dalam waktu yang berdekatan, dua orang pembantu presiden, terjerat kasus korupsi. Bahkan yang lebih mengerikan adalah dana yang dikorupsi merupakan dana (bencana) bantuan penanganan Covid-19,” ungkapnya.
Ia juga menyebutkan, dalam kasus Djoko Tjandra, yang melibatkan beberapa jendral polisi dan pegawai kejaksaan semakin menunjukkan kegagalan Jokowi-Ma’ruf mewujudkan pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya.
Di sisi lain, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya mengharuskan adanya kontrol yang efektif dari parlemen. “Sementara saat ini kita melihat DPR sudah kehilangan daya kritisnya, bahkan cenderung menjadi stempel kekuasaan dengan mendukung apapun kebijakan pemerintah,” ungkap Luthfi.
Salah satu indikasi DPR hanyalah stempel adalah dengan disahkannya UU Omnibus Law padahal banyak dikritik oleh publik mengonfirmasi hal tersebut. “Lalu, bagaimana bisa mewujudkan pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya, jika lembaga yang seharusnya bersikap kritis dan ketat mengontrol kinerja pemerintah, kini diam seribu bahasa?” bebernya.
Ketiga, di antara janji Jokowi-Ma’ruf adalah sinergis dengan pemerintah daerah dalam kerangka negara kesatuan. Hingga saat ini, ia menilai janji ini pun tidak bisa direalisasikan.
“Sebagai contoh, dalam penanganan Covid-19, sinergisitas ini sama sekali tidak terlihat. Masing-masing bergerak sendiri, masing-masing ingin tampil sendiri. Pemerintah pusat terlihat gagap, sementara pemerintah daerah tidak siap,” bebernya.
Memang sejatinya, lanjut Luthfi, sinergisitas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di era otonomi daerah, sampai kapan pun sulit untuk diwujudkan. Alasannya sederhana, karena saat ini kepala daerah (wali kota/bupati dan gubernur) dipilih langsung oleh rakyat, bukan diangkat presiden. “Sehingga, pemerintah daerah tidak merasa harus mengikuti kebijakan pusat sepenuhnya,” ujarnya.
Contoh yang lain adalah pembangunan di Papua. Menurutnya, pemerintah pusat sudah merasa mengeluarkan dana sangat besar untuk membangun Papua. Tetapi apa hasilnya? Hingga saat ini dua provinsi di sana, yakni Papua dan Papua Barat belum beranjak dari daftar provinsi termiskin, padahal sumber daya alamnya kaya luar biasa.
“Jadi selama ini, pembangunan untuk siapa? Untuk masyarakat Papua atau pemilik modal yang ingin mengeksploitasi kekayaan Papua? Kondisi inilah yang di antaranya membuat sebagian orang Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia. Jadi, gerakan separatisme di antaranya disebabkan karena ketidakmampuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di tengah masyarakat,” ungkapnya.
Penyebab Kisruh
Ia menilai, penyebab utama berbagai kekisruhan di bidang politik ini karena sistem politik yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi.
“Sistem demokrasi memberikan ruang yang luas kepada manusia untuk membuat hukum dan perundangan. Konsekuensi dari kewenangan manusia membuat hukum adalah ketidakadilan, karena manusia pasti akan menyertakan kepentingan pribadi dan kelompoknya pada produk hukum yang dibuat. Sistem demokrasi juga tidak akan memberikan ruang bagi penerapan syariat Islam secara kaffah (totalitas),” ujarnya.
Menurutnya, dari sinilah berbagai kekisruhan dalam politik ini terjadi. “Karena itu, umat Islam seharusnya menyadari untuk segera mengganti sistem demokrasi dengan sistem politik warisan Rasulullah SAW yang menjamin penerapan syariat Islam secara kaffah sehingga terwujud keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia, yakni sistem khilafah Islam,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it