Mediaumat.id – Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi, M.Si. menegaskan, secara esensi, posisi memahami kaidah fikih berkenaan dengan khilafah adalah sebagai penguat dalil kewajiban penegakannya.
“Sifatnya ini memang untuk menambah kekuatan dalil. Andaikata tidak, sebenarnya sudah mencukupi,” ujarnya dalam Kajian Dhuha Eps #7: Dalil-Dalil Qa’idah Syar’iyyah Wajibnya Khilafah, Ahad (10/4/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Maknanya, meski tidak ada dalil kaidahnya, sambung Kiai Shiddiq, dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah maupun Ijma’ insyaAllah sudah mencukupi tentang kewajiban penegakan khilafah. “Tidak menjadi masalah atau tidak apa-apa, atau boleh, bahkan lebih baik itu dalil wajibnya khilafah itu ditambah dengan sebuah kaidah fikih, itu akan menjadi lebih kuat,” tuturnya.
Lebih lanjut, sebagaimana penjelasan Syekh Abdullah Ad Dumaiji di dalam kitab Al-Imamah al- ‘Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 58, Kiai Shiddiq menyampaikan, setidaknya ada dua qa’idah fiqhiyyah (kaidah fikih) yang oleh para ulama juga dijadikan dalil wajibnya khilafah.
Yakni, ‘segala sesuatu yang suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengannya, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya’ dan ”segala bentuk bahaya (kemudharatan) wajib untuk dihilangkan.’
Kaidah Pertama
Detailnya, terang Kiai Shiddiq terkait kaidah pertama, Syekh Abdullah Ad Dumaiji telah memaparkan, di antara dalil-dalil atas wajibnya imamah (khilafah) adalah kaidah syar’iyyah yang berbunyi: ‘Segala sesuatu yang suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengannya, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.’
‘Sungguh telah diketahui bahwa Allah SWT telah mewajibkan berbagai perkara yang tidak dimampui oleh orang per orang, misalnya menegakkan hudud, menyiapkan pasukan untuk berjihad, menyebarkan Islam, meninggikan kalimat Allah, memungut zakat dan menyalurkan kepada para mustahiq yang tertentu, menjaga perbatasan negara dan menjaga kesatuan kaum Muslim, menyebarkan keadilan dan menghilangkan kezaliman, menyelesaikan sengketa di antara manusia dan kewajiban-kewajiban lainnya yang tidak mampu dilaksanakan oleh orang per orang, melainkan harus dengan cara mewujudkan kekuasaan (as-sulthan) dan kekuatan yang berhak untuk ditaati oleh orang per orang yang akan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.’
“Kekuasaan ini tiada lain adalah imamah (khilafah),” tandas Syekh Abdullah seperti tercantum di kitab beliau tersebut.
Lugasnya, Kiai Shiddiq menyerupakan kaidah itu dengan dalil qa’idah di dalam QS al-Maidah ayat 6 yang mewajibkan membasuh tangan ketika wudhu. “Kewajiban membasuh tangan ini tidak akan sempurna kecuali sampai ke siku,” ujarnya.
Di sisi lain, Prof. Dr. Shalah ash-Shawi di kitab Al-Wajiz fi Fiqh al-Khilafah, hlm. 19-20 juga menegaskan,
‘Yang demikian itu (wajibnya khilafah) dikarenakan banyak kewajiban-kewajiban syariah yang bergantung eksistensinya kepada seorang imam (khalifah), padahal segala sesuatu yang suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengannya, maka sesuatu itu wajib juga hukumnya’.
Sebabnya, lanjut beliau, menegakkan hukum yang diturunkan Allah, menegakkan hudud dan menerapkan hukum-hukum Syara’, menjaga perbatasan negara, menyiapkan pasukan perang, membagikan harta rampasan perang, menjaga keamanan dengan menindak para pencuri dan pembegal, mengangkat para hakim dan gubernur, mengemban Islam ke seluruh dunia, dan semua kewajiban-kewajiban syariah atau semisalnya, tidak akan mampu dilaksanakan oleh orang per orang dari kalangan umat, melainkan diwakilkan urusannya kepada para imam (khalifah).
Maka dari sinilah, kata Kiai Shiddiq, mengutip perkataan Prof. Shalah, imamah (khilafah) itu wajib hukumnya, karena hanya dengan khilafah saja semua kewajiban itu terlaksana.
Pemaparan serupa juga datang dari Imam Taqiyuddin an-Nabhani. “Terlebih lagi, menegakkan agama dan menerapkan hukum-hukum Syara’ dalam seluruh urusan dunia dan agama adalah fardhu (wajib) atas kaum Muslim, dengan dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Nabi SAW) dan qath’i dalalah (tegas maknanya).”
“Dan kewajiban itu tidak mungkin terlaksana kecuali dengan adanya seorang penguasa yang mempunyai kekuasaan. Sedang kaidah syar’iyyah menyatakan maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajib, maka mengangkat khalifah itu fardhu ditinjau dari segi ini juga.” demikian penjelasan yang termaktub di dalam kitab yang beliau tulis, Al Syakhsiyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 16.
Artinya, dari penjelasan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani tersebut, kata Kiai Shiddiq, juga lahir kaidah fikih ‘segala sesuatu yang suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengannya, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya’.
Kaidah Kedua
Kedua, berkenaan dengan kaidah fikih yang berbunyi: ‘Segala bentuk bahaya (kemudharatan) wajib untuk dihilangkan.’
“Dalil qa’idah fiqhiyyah ini adalah sabda Rasulullah SAW,” sebut Kiai Shiddiq mengartikan hadits terkait yang artinya, ‘Tidak boleh menimbulkan segala bentuk bahaya (mudharat) bagi diri sendiri dan bagi orang lain’ (HR Ibnu Majah dan Daraquthni).
“Maka dari sinilah lahir qa’idah fiqhiyyah, ‘segala bentuk bahaya (kemudharatan) wajib untuk dihilangkan’,” nukilnya dari kitab Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, hlm.113, karya Musthafa Muhammad az-Zarqa.
Ia pun menjelaskan kaidah itu. “Sesungguhnya setiap bahaya (dharar) wajib dihilangkan. Dan dengan melihat redaksi laa dharara wa laa dhiraara, maka artinya bukan menafikan faktanya tetapi melarang atau mengharamkan segala macam bahaya (dharar dan dhiraara),” terangn Kiai Shiddiq.
Menurutnya pula, apabila menukil perkataan Syekh Abdullah Ad Dumaiji, ternyata juga dipaparkan di dalam kitab Al-Imamah ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hlm. 60, yang berbunyi:
‘Demikian pula, di antara dalil wajibnya imamah (khilafah) adalah untuk menolak terjadinya berbagai dharar (bahaya) akibat kekacauan (faudha). Karena ketika tidak ada pengangkatan seorang imam (khalifah) akan muncul berbagai mudharat dan kekacauan yang tidak ada yang mengetahui (banyaknya) kecuali Allah.’
Padahal menolak kemudharatan dan menjaga kemaslahatan yang lima, (agama, jiwa, kehormatan, harta dan akal), masih dari Syekh Abdullah, lanjut Kiai Shiddiq, adalah wajib hukumnya menurut syara’ dan termasuk dalam maqashid al-syariah. Dan hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengangkat seorang imam (khalifah) bagi kaum Muslim.
Demikian pula dengan Prof. Dr. Shalah ash-Shawi. Di dalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh al-Khilafah, hlm. 20-21, beliau berkata,
‘Penetapan kaidah ini, bahwa dalam pengangkatan seorang khalifah, akan menghilangkan berbagai kemudharatan yang besar yang diperkirakan dapat terjadi.’
“Dan karena menghilangkan kemudharatan yang diperkirakan akan terjadi itu wajib, maka mengangkat khalifah itu wajib hukumnya,” sambung Prof. Shalah di kitab tersebut.
“Kalau sekiranya manusia dibiarkan dalam kondisi kacau sehingga tidak dapat terhimpun menjalankan kebenaran, …akan timbul berbagai kerusakan (mafasid) yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan mengangkat imam (khalifah),” tambahnya masih dari kitab beliau.
Dengan demikian, berdasarkan dua kaidah fikih tersebut, Kiai Shiddiq kembali menegaskan, keberadaan khilafah (imamah) berarti wajib hukumnya bagi kaum Muslim. “Kemudian akan ada khilafah yang mengikuti tuntunan kenabian. Setelah itu beliau diam.” tutupnya menampilkan slide akhir berupa hadits riwayat Imam Ahmad tentang kembalinya khilafah.[] Zainul Krian