Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik internasional)
Mesir menyelenggarakan pemilu presiden. Sisi seperti diktator sebelum dia, tidak memiliki toleransi untuk oposisi. Berbagai upaya telah diambil oleh Abdel Fattah al-Sisi untuk mengamankan posisinya. Proses pemungutan suara dalam pilpres kali ini dilakukan selama tiga hari mulai dari Senin hingga Rabu (28/3/18). Hanya dua kandidat yang bersaing, yaitu Abdel Fattah al-Sisi dan Mousa Mustafa Mousa. Sisi, yang telah berkuasa sejak 2014, dirancang untuk berjalan tanpa perlawanan setelah semua kandidat presiden lainnya mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengambil bagian dalam pemilihan pada 26-28 Maret.
Beberapa pengamat memprediksi hasil akhir Pemilu Mesir yang mudah ditebak siapa yang terpilih, mengingat al Sisi mendapatkan dukungan tanpa batas Barat agar dia bisa menang. Barat tidak bisa menyembunyikan dukungannya kepada tiran Sisi dengan harapan sia-sia untuk mencegah kembalinya kebangkitan Islam politik yang ada di Mesir. Banyak pihak memprediksi sifat diktatorisme Sisi akan berujung sama seperti Mubarak, dan antek lainnya dari Barat.
Di bawah kepemimpinan al Sisi, Mesir tidak dalam kondisi membaik. Situasi ekonomi telah memburuk di bawah kepemimpinannya. Saat ini inflasi mencapai 14% dan pemerintah Mesir mencabut beberapa fasilitas yang disubsidi sebelumnya termasuk listrik yang kini telah naik hingga 40%. Mesir pernah menjadi pengekspor gas, tetapi setelah bertahun-tahun mengalami ketidakstabilan politik dan salah urus SDA rakyat menjadikannya pengimpor gas.
Para ekonom memperkirakan situasi Mesir memburuk setelah kebijakan penghapusan subsidi pangan diterapkan yang diperkirakan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan karena kenaikan harga kebutuhan pokok. Untuk utang Luar Negeri (LN) Rezim Sisi meminta pinjaman ke IMF sebesar $ 12 miliar sehingga total utang Mesir bertambah menjadi $ 54 miliar.
Sisi negatif lainnya, saat ini 60% dari pendapatan negara dihabiskan untuk pembayaran utang yang menyisakan sangat sedikit untuk layanan publik. Ekonomi Mesir semakin mundur ketika pada tahun 1990, ekonomi Mesir terpaksa beralih dari pengekspor pangan ke pengimpor pangan. Setiap pangan yang diproduksi, 50% yang pendapatan yang diekspor untuk untuk membayar utang. Semua ini menunjukkan bahwa alih-alih situasi ekonomi membaik di Sisi, kenyataannya malah menjadi lebih buruk. Pergi ke IMF hanya solusi jangka pendek dan akan menambah lebih banyak utang, ini hanya akan mengabadikan masalah pengelolaan ekonomi yang ada.
Bisa dipahami, demokrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama amerika, eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam alam demokrasi , kebijakan Utang Luar negeri Mesir telah memberi jalan bagi hegemoni kapitalis. Pada akhirnya arah pembangunan Mesir disetir IMF, membuat makin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat negara Donor.
Apa yang seharusnya dipahami oleh rakyat Mesir sekarang adalah sistem di negara itu yang tidak hanya al Sisi saja, dia seperti Hosni Mubarak, Anwar El Sadat dan Gamal Abdel Nasser hanya fokus mempertahankan kekuasaan mereka sendiri. Dan ingatan masyarakat Mesir masih membekas atas kekerasan yang dilakukan Abdul Fattah al-Sissi yang dengan kejinya membantai para demonstran yang mendukung Presiden Mohamad Mursi, di Rabiaah al-Adawiyah Square, Nahda, dan Ramses, di mana ribuan pendukung Mursi tewas, dan puluhan ribu lainnya mengalami luka-luka. Di saat masyarakat Mesir tertekan dengan model kepemimpinan ‘tangan besi’ al Sisi, Mesir membutuhkan solusi riil untuk lepas dari diktatorisme dan model pemerintahan kapitalistik.[]