Jurnalis: Permendikbud No 30/21 Bukan Solusi Atasi Kekerasan Seksual

 Jurnalis: Permendikbud No 30/21 Bukan Solusi Atasi Kekerasan Seksual

Mediaumat.id – Jurnalis Joko Prasetyo menilai terbitnya Permen Dikbudristek Nomor 30 tahun 2021 bukanlah solusi untuk mengatasi masalah kekerasan seksual.

“Munculnya Permendikbud ini mengkonfirmasi bahwa kekerasan seksual di kampus semakin marak. Namun demikian peraturan ini diduga tidak akan pernah bisa menjadi solusi bagi maraknya kekerasan seksual,” tuturnya dalam Kajian Bincang Media Umat edisi ke-30: Permendikbud No.30/21, Legalisasi Seks Bebas? di kanal YouTube Follback Dakwah, Rabu (08/12/2021).

Menurut Om Joy, sapaan akrabnya, ada beberapa alasan Permen Dikbudristek ini tidak bisa dijadikan solusi.

Pertama, kesalahan paradigma. “Paradigmanya menggunakan paradigma Barat yang dikeluarkan oleh PBB dan diratifikasi Indonesia. Muatan itu tampak dalam konsideran ‘mengingat’ yang CEDAW dan HAM sebagai landasan. Jadi, paradigmanya adalah sekularisme, HAM dan liberalisme, bukan agama,” ujarnya.

Amerika dan negara-negara Eropa telah meratifikasi lebih dulu terkait undang-undang pencegahan kekerasan seksual. “Faktanya berdasarkan berbagai penelitian, Amerika menjadi negara terbesar ketiga sedunia terjadinya kekerasan seksual. Dari sepuluh negara besar dunia, negara-negara Eropa masuk dalam 10 besar terkait dengan pelecehan seksual, pemerkosaan dan lain-lain,” tambahnya.

Kedua, tidak memahami hakikat manusia. “Aturan yang berlaku di Amerika maupun Eropa adalah aturan untuk mengatur manusia yang memiliki gharizah nau’ (naluri melestarikan keturunan). Allah SWT saat menciptakan manusia dilengkapi dengan alat reproduksi. Tujuannya untuk melestarikan jenis manusia. Ada yang bertugas membuahi, ada yang bertugas dibuahi. Yang membuahi laki-laki dan yang dibuahi perempuan,” terangnya.

Menurutnya, laki-laki atau perempuan apa pun agamanya jika dihadapkan pada dirinya fakta-fakta tentang sensualitas atau seksualitas, hasratnya akan muncul. “Tak peduli apakah dia orang Amerika, Eropa atau Indonesia. Muslim maupun non-Muslim. Demikian pun jika ditanamkan persepsi-persepsi tentang sensualitas, saat ia membayangkan akan terbangkitkan nalurinya dan meminta pemenuhan,” katanya.

Om Joy menilai, dari sisi pemenuhan gharizah nau’ setidaknya ada dua masalah yang muncul. ‘dengan persetujuan korban’ atau ‘tanpa persetujuan korban’.

“Nah yang dilarang oleh sekularisme adalah bila salah satu pihak tidak setuju. Jadi, ketika terjadi pacaran yang suka sama suka itu tidak dilarang oleh sekulerisme. Yang dilarang ketika salah satu pihak menolak. Tidak ada larangan mendekati zina, sehingga manusia selalu dirangsang oleh fakta-fakta di depan mata, perempuan yang tidak menutup aurat, berpenampilan seksi baik di iklan maupun di TV. Di kehidupan sehari-hari sensualitas ditonjolkan. Ini semua akan merangsang naluri,” terangnya.

Masalahnya, tutur Om Joy, kalau setiap hari dirangsang dan nafsu sudah di ubun-ubun sementara korban menolak, pelaku akan melimpahkan pada orang-orang yang dianggap lemah atau dengan cara memaksa. Saat pemaksaan itu sudah terjadi, aturan baru datang. Solusi yang sangat terlambat.

“Inilah solusi kekerasan seksual yang diberikan oleh sekularisme, memisahkan aturan agama dari aturan negara,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

1 Comment

  • tulisan dan kritik yang bagus. Semoga pemerintah khususnya dikbudristek dapat menemukan solusi secara nalar dan logika bahwa hukum negara dan agama saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *