Mediaumat.id – Dikarenakan terikat prinsip tidak boleh campur tangan urusan dalam negeri negara lain, anggota ASEAN termasuk Indonesia, tak bisa mencegah apalagi menghukum aksi brutal pasukan Junta Militer Myanmar yang membakar hidup-hidup 19 warga sipil.
“Organisasi ASEAN memang terbelenggu dengan prinsip noninterference,” ujar Pengamat Hubungan Internasional Budi Mulyana kepada Mediaumat.id, Kamis (18/5/2203).
Artinya, ASEAN memang memosisikan netral terhadap peristiwa yang terjadi di dalam negeri anggotanya. “Dengan alasan itu adalah urusan masing-masing negara, ASEAN tidak berniat mengintervensi urusan yang menjadi kedaulatan masing-masing negara,” terangnya.
Lantaran itu, Budi menyebut prinsip demikianlah yang menjadikan ASEAN mandul. Sebabnya sekali lagi, tak bisa mencegah, terlebih menghukum pelaku kejahatan dalam hal ini oleh negara anggotanya sekalipun.
Menurutnya, yang bisa dilakukan ASEAN hanya sebatas pendekatan persuasif tanpa bisa melakukan tindakan tegas. Sehingga ini menjadi tantangan bagi Indonesia.
“Ini menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN periode ini. Apakah masih berpegang kepada prinsip tersebut, padahal kejahatan kemanusiaan ada di depan mata,” tandasnya.
Prihatin
Dilansir dari berbagai pemberitaan, pembakaran tersebut dilakukan pada 10 Mei 2023, bertepatan dengan penyelenggaraan KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 9 hingga 11 Mei 2023.
Kala itu, para pemimpin ASEAN bahkan merilis satu deklarasi khusus untuk mengecam serangan terhadap konvoi diplomat yang membawa bantuan di Myanmar. Konvoi tersebut juga mencakup diplomat Indonesia.
Namun sayangnya, sejumlah pemimpin termasuk Joko Widodo bisanya sekadar memperingatkan Myanmar agar segera menghentikan konflik yang terjadi sejak militer menggulingkan pemerintah yang sah pada 1 Februari 2021 lalu.
Untuk diketahui pula, lima poin konsensus hasil pertemuan negara anggota yang digelar 2 bulan pasca kudeta, di antaranya adalah Myanmar harus menghentikan kekerasan, ternyata tak kunjung dipenuhi hingga sekarang.
Karenanya, berkenaan sikap Myanmar yang kekuasaannya diambil alih junta militer ini, kata Budi, tentu menjadi keprihatinan bersama. “Apa yang mereka lakukan adalah buah dari mekanisme penguasaan negara dengan junta militer,” sebutnya.
Dengan kata lain, ketika hukum militer yang diterapkan maka cenderung menindak setiap perilaku warga yang dianggap mengancam kedudukan negara dengan cara yang represif, tanpa melihat hukum dan aspek kemanusiaan.[] Zainul Krian