Jumlah Utang Negara Membengkak, Hilmi: Beban bagi Masyarakat

Mediaumat.id – Menyikapi jumlah utang negara yang terus membengkak, Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI), Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. mengatakan bahwa hal tersebut akan menjadi beban bagi masyarakat Indonesia.

“Penguasa hari ini terus menumpuk utang, sementara bagian yang membayar itu anak cucunya, karena mau tidak mau ketika kita melaksanakan utang wajib dibayar, ini tentu akan menjadi beban bagi masyarakat Indonesia,” bebernya dalam acara Kabar Petang: Gawat! RI Terjebak di Lingkaran Utang? di kanal YouTube Khilafah News, Senin (6/2/2023).

Kemudian, lanjutnya, pemerintah atau masyarakat harus menanggung, di antaranya adalah pemerintah akan secara ketat untuk menarik pajak dari masyarakat. Jadi, untuk membayar utang itu pemerintah akan terus-menerus menggencarkan orang-orang atau masyarakat dengan pajak, yang pasti ujungnya adalah mengurangi subsidi sehingga masyarakat akan terbebani sekali dengan utang ini.

Ia juga mengatakan, pada tahun lalu pemasukan negara bertambah atau naik dari sektor pajak. Hal ini mengindikasikan bahwa negara berhasil memalak rakyatnya. “Tahun 2022 itu penerimaan negara mengalami kenaikan, terutama di sektor pajak. Jadi pajak yang yang diterima negara itu melampaui target, artinya pemerintah telah berhasil memalak rakyatnya,” ujarnya.

Karena pemasukan dari sektor pajak banyak, imbuhnya, akhirnya defisit itu berkurang. Kenyataannya, masyarakat dikejar-kejar lewat pajak, dan masyarakat harus bersiap-siap dengan pengurangan-pengurangan dalam bentuk subsidi, begitulah konsekuensinya.

Julian juga menjelaskan tentang tabiat dalam sistem ekonomi kapitalisme, selalu mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara.

“Dalam paradigma sistem ekonomi terutama kapitalis yang liberal itu, mereka akan mencari sumber pendapatan APBN salah satunya dari pajak. Selain itu dari hibah, dalam hal ini adalah utang. Ketika pajaknya dinilai sudah mentok artinya tidak lagi bisa dikalkulasikan untuk bertambah maka alternatif yang lain adalah utang,” terangnya.

Tahun kemarin atau tahun kebelakang, beber Julian, pemerintah menjustifikasi bahwa subsidi itu membebani terutama subsidi BBM. Ujung-ujungnya adalah pemerintah menaikkan harga BBM yang notabene katanya sekitar 600-an triliun.

“Padahal kalau kita buka-bukaan berdasarkan APBN tahun kemarin yang paling banyak membebani APBN kita sebetulnya bayar utang pokok dan cicilannya yang jumlahnya itu sekitar 850 triliun. Akan tetapi hal ini tidak diungkap ke tengah publik. Artinya utang itu sangat besar,” jelasnya.

Sebagai orang yang memahami ekonomi syariah, ia menyampaikan tentang konsep utang dalam kacamata syariat.

“Dalam konteks syariah sangat jelas, yang namanya utang, jangankan yang ada bunganya atau riba, yang tidak ada bunganya saja itu perlu dihindari, apalagi kalau misalkan utang itu berbasis bunga, dalam konteks kapitalis hari ini kita kenal dengan istilah no free lunch atau tidak ada makan siang gratis. Setiap utang atau setiap pinjaman pasti ada embel-embelnya, entah itu barter dengan izin proyek atau dengan suku bunga yang sangat tinggi,” paparnya.

Kalau dibandingkan dengan konteks ekonomi Islam, kata Julian, itu yang menjadi acuan pendapatan negara itu bukan didasarkan pada pajak dan juga tidak utang tapi betul-betul dari sektor kepemilikan umum dan sektor-sektor yang lain. sehingga pendapatan negara itu sangat besar, banyak sumber-sumbernya. Sehingga kalau diterapkan ini akan surplus bukan defisit. Sektor kepemilikan umum tersebut contohnya: tambang, dan hutan.[] Nur Salamah

Share artikel ini: