Jumlah Orang Kaya di Dunia Meningkat Selama Pandemi, HILMI: Logikanya Angka Kemiskinan Turun

Mediaumat.id – Fenomena meningkatnya jumlah orang kaya di dunia secara signifikan selama pandemi berlangsung, dikatakan Ketua Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. seharusnya angka kemiskinan turun.

“Logikanya, kalau jumlah orang kaya meningkat, maka harusnya mengurangi jumlah orang miskin. Tetapi pada saat bersamaan justru orang miskin bertambah,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Senin (17/1/2022).

Bahkan sebagaimana diberitakan antaranews.com (17/1), 10 orang terkaya di dunia bertambah kaya sebesar 15.000 dolar AS (Rp215 juta) per detik atau 1,3 miliar dolar AS (Rp18,6 triliun) per hari selama pandemi.

Tak hanya itu, harta mereka melebihi gabungan harta yang dimiliki 3,1 miliar penduduk miskin di dunia. Sehingga lebih dari 160 juta orang diperkirakan jatuh miskin selama krisis kesehatan saat ini.

Realita itu, menurut Julian, sebetulnya terjadi karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme. “Dia memihak para pemilik modal semata. Uang hanya berputar pada elite-elite pemilik modal saja,” tuturnya.

Indonesia

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Menurut Julian, data penduduk miskin dari tahun 2019 yang sekitar 25 juta orang, naik dua juta orang pada Mei 2021 di kisaran 27,5 juta orang. “Ini kan ada peningkatan orang miskin,” jelasnya.

Malah yang lebih menarik baginya, seperti dilansir Lembaga Keuangan Credit Suisse atau Surat Kabar Financial Times beberapa waktu lalu, jumlah orang kaya di Indonesia selama pandemi, melonjak hingga 62%. “Artinya kan pandemi ini semakin memperlebar juga antara jurang yang kaya dan miskin,” jelasnya.

Namun terkait fenomena makin kayanya orang kaya, dan semakin miskinnya orang miskin dalam sistem ekonomi kapitalis seperti yang diterapkan saat ini, menurut Julian itu justru sudah terjadi jauh-jauh hari.

Ia menjelaskan, sistem kapitalisme yang berasal dari kapital atau pemilik modal, memang didesain untuk senantiasa berorientasi serta memihak kepada para pemilik modal.

“Maka tidak heran, berdasarkan data dan fakta juga kalau kita melihat misalkan di Indonesia selama pandemi ini, ternyata jumlah orang kaya itu meningkat sangat signifikan,” terangnya.

Apalagi, jargon trickledown effect rembesan, menurut Julian juga nyaris tidak ada. “(Justru) orang yang multi modal, dia akan mengalami peningkatan kapital atau uang yang signifikan. Itu yang terjadi,” ucapnya.

Di sisi lain ia juga tak heran, ketika Karl Marx yang dikenal sebagai bapak sosialisme, menamai sistem tersebut dengan kapitalisme. Alasannya, secara fakta telah menunjukkan bahwa sistem ini sangat pro terhadap para pemilik modal.

Tak hanya itu, Julian juga mengatakan, para pemilik modal akan cenderung berkuasa, bahkan penuh, dalam tataran kehidupan masyarakat. Dari pendidikan, hingga ke dalam tataran pemerintahan. “Mereka bisa mengendalikan siapa yang akan berkuasa dan ditempatkan di mana saja,” tandasnya.

Sehingga dalam konteks saat ini pun, sambungnya, harapan dari sistem kapitalisme akan mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat luas, masih jauh panggang dari api.

Dengan demikian sebagai seorang Muslim, ia berharap, seiring fakta-fakta yang terjadi dan kerap ditampilkan terkait dengan kapitalisme, makin memberikan kesadaran bagi umat bahwa sistem kapitalisme ini akan semakin meningkatkan gini rasio, disparitas dan kesenjangan antara yang kaya dan miskin.

Kalaulah umat melihat dan berkaca pada aspek histori, sistem yang mampu memberikan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim menurutnya hanyalah sistem ekonomi Islam.

“Kita tawarkan sistem ekonomi Islam. Tentunya sistem ekonomi Islam yang solutif yang sistematis. Bukan hanya sebatas pada tataran perbankan saja atau moneter saja,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: