Judol dan Gimol Dianggap Sama, Ada Persoalan Paradigma Definisi Judi

Mediaumat.info – Adanya anggapan seputar judi online (judol) adalah sama dengan permainan atau gim online (gimol), dinilai Mudir Ma’had Darul Ma’arif Banjarmasin Guru Wahyudi Ibnu Yusuf karena masih ada persoalan paradigmatik tentang definisi judi yang bias.

“Ada persoalan paradigmatik, yakni persoalan tentang apa itu definisi judi sepertinya masih bias,” ujarnya dalam Catatan Peradaban: Korban Judi Online Dapat Bansos, Salah Paradigma? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Kamis (20/6/2024).

Artinya, kendati sudah ada regulasi yang mengatur tentang judi dan penertibannya, tetapi definisi judi di dalamnya kurang jelas. “Tapi (definisi judi) itu kurang jelas menurut kami,” sambungnya.

Bertambah celaka, persoalan paradigmatik ini dialami oleh masyarakat bawah hingga level pemerintah pengambil kebijakan. Maka tak heran ada beberapa artis yang disinyalir mengendorsemen judol, akhirnya terkesan tidak ditindaklanjuti. Alasannya, mereka sekadar mempromosikan gimol.

Mengutip kitab Mu’jamu Lughati al-Fuqaha` karya Syekh Prof. Muhammad Rawas Qal’aji, Guru Wahyudi menjelaskan harus ada tiga unsur saling berkaitan di dalam aktivitas yang bisa disebut sebagai judi.

“Ada tiga unsur berdasarkan takrif (definisi),” paparnya.

Pertama, terdapat permainan. Kedua, ada harta yang dipertaruhkan. Ketiga, ada pengambilan harta oleh pemenang dari pihak yang kalah.

Dengan demikian, apabila mengacu pada paradigma Islam ini, maka umat tak perlu bingung lantas terjebak sebagaimana alasan para artis yang berdalih bingung terhadap platform-platform permainan yang mereka promosikan sebelumnya.

“Selama dia mengandung tiga unsur ini berarti dia dikategorikan sebagai judi online,” tegas Guru Wahyudi sekali lagi.

Sanksi yang Lemah

Berikutnya selain paradigmatik, selama ini terdapat persoalan sanksi yang dinilai lemah dan tak mampu memberikan efek jera. “Ada persoalan sanksi yang lemah yang tidak memberikan efek jera,” kata Guru Wahyudi lebih lanjut.

Bahkan secara di dunia, ada dua sanksi yaitu sanksi sosial dan hukum terhadap pelaku judi. Di dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, misalnya, ada sebagian ulama yang memakruhkan mengucapkan dan menjawab salam kepada pelaku judi.

Bahkan, masih dari keterangan kitab tersebut, selama belum bertobat maka persaksian pelaku judi ditolak. “Tidak diakui persaksiannya. Kenapa? Karena dia orang yang melakukan dosa besar,” lontar Guru Wahyudi, seraya menandaskan bahwa judi termasuk dosa besar sebagaimana keterangan Imam Adz-Dzahabi di kitab Al-Kaba’ir (dosa-dosa besar).

Lantas terkait sanksi hukum, Guru Wahyudi menyampaikan, judi termasuk kemaksiatan yang jenis, bentuk dan kadar hukumannya diserahkan pada ijtihad khalifah atau qadhi (hakim). Jenis sanksi dari kemaksiatan inilah yang disebut ta’zîr.

Maka negara bisa memberikan sanksi berat yang bisa memberikan efek jera, bahkan sampai tingkat hukuman bunuh terutama bagi para bandar judi.

“Terutama bagi para bandar, karena biasanya bandar ini enggak pernah jera,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: