Jual Beli Utang
Penjualan utang dengan harga kontan milik debitor dan selain debitor jika salah satu yang dipertukarkan bukan berupa uang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Serah terima harga di majelis jual beli;
- Utang tersebut harus tetap (fiks);
Allah SWT berfirman, “Dan Allah telah menghalalkan jual beli.” [TQS al-Baqarah [2]: 275]. Jual beli utang termasuk dalam kategori keumuman ayat di atas. Ibn Hazm mengeluarkan riwayat ‘Abdur Razaq, bahwa Abu az-Zubair mendengar tentang Jabir bin Abdullah yang ditanya mengenai orang yang mempunyai utang, lalu dia membeli seorang hamba sahaya dengan utang tersebut. Jabir berkata, “Itu tidak masalah.”
Di dalam atsar ini dinyatakan, bahwa salah satu yang ditukarkan tersebut tidak kontan. Sahabat Jabir bin Abdulah memfatwakan kebolehan menjual utang, jika salah satu yang dipertukarkan tersebut tidak kontan.
Begitu pula utangnya harus fiks, tidak ada yang ambigu, antara ada atau tidak. Sebab, ada kemungkinan dibatalkan, karena satu alasan yang menjadi tujuannya, seperti mahar sebelum terjadinya hubungan badan, atau upah sebelum jasanya dipenuhi, sementara tenggat waktunya sudah habis. Karena ada kemungkinan akadnya dibatalkan, sementara upahnya tidak didapat, baik penuh maupun sebagian.
Sedangkan utang yang belum fiks tidak termasuk kepemilikan debitor, kecuali jika sudah fiks. Maka, kalau jual beli utang tersebut dilakukan sebelum utangnya fiks, berarti dia telah menjual sesuatu yang belum menjadi hak miliknya. Padahal, Rasul SAW bersabda, “Jangan engkau menjual sesuatu yang bukan milikmu.” Dalam riwayat lain Rasul SAW bersabda, “Tidak boleh ada jual beli, kecuali pada sesuatu yang dimiliki.”
Di samping itu, jual beli utang tersebut harganya harus diserahterimakan di majelis. Sebab, jika harganya ditangguhkan, maka yang terjadi adalah jual beli utang dengan utang, dan ini hukumnya haram. Penting dijelaskan, bahwa dayn berbeda dengan qardhun. Setiap qardhun adalah dayn, tetapi tidak setiap dayn adalah qardhun.
Dayn terbukti menjadi tanggungan boleh jadi karena faktor jual beli, ijarah, kompensasi dari harta yang dirusak, atau qardhun yang diutangkan. Sedangkan qardhun hanya terjadi karena satu sebab, yaitu iqtirâdh (utang). Dalam kitab Mausu’ah al-Ahkam as-Syar’iyyah al-Muyassarah fi al-Kitab wa as-Sunnah: al-Mu’amalah, Samih ‘Athif az-Zain, menjelaskan, bahwa qardh adalah utang dalam bentuk barang, di mana barangnya bisa dibayar dengan barang sejenis, yang sama jenis maupun sifatnya. Misalnya, utang uang rupiah, harus dikembalikan dalam bentuk rupiah yang sama; utang makanan, harus dikembalikan dengan makanan yang sama. Karena itu, qardh ini hanya berlaku untuk kasus utang barang yang mempunyai jenis dan padanan, bukan dibayar dengan nilainya. [Lihat, Samih ‘Athif az-Zain, Mausu’ah al-Ahkam as-Syar’iyyah al-Muyassarah fi al-Kitab wa as-Sunnah: al-Mu’amalah, hal. 303].
Ibn al-Humam menjelaskan fakta dayn, bahwa dayn ini merupakan sebutan harta wajib yang menjadi tanggungan, sebagai kompensasi dari harta yang dirusak, diutang, barang yang diakadkan dalam jual beli, manfaat yang diakadkan, mahar seorang wanita atau penyewaan harta.” [Lihat, Syarh Fath al-Qadîr, Juz VI, hal. 332]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 212