Merek dagang adalah nama dan bentuk yang bisa membedakan barang tertentu dengan barang lain. Saat ini, inilah fakta yang disebut merek dagang. Merek dagang ini dijual untuk bisa dimanfaatkan oleh pembelinya. Merek dagang ini secara riil menghasilkan manfaat. Manfaat itu sendiri merupakan harta. Dalilnya adalah sabda Rasul SAW kepada orang yang meminta dinikahkan dengan seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi SAW, “Aku telah nikahkan kamu dengannya dengan (mahar) hafalanmu dari Alquran.”
Rasulullah SAW telah menetapkan manfaat mengajarkan Alquran sebagai harta. Ibn Rajab mengatakan, “Seandainya manfaat ini bukan merupakan harta, niscaya manfaat tersebut tidak sah digunakan untuk tujuan ini (menjadi mahar).” [Ibn Rajab, al-Qawaid, hal. 233] Manfaat merupakan harta juga ditegaskan oleh riwayat al-Bukhari, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah mengajarkan kitabullah.”
Rasulullah SAW telah menetapkan manfaat mengajarkan Alquran dengan kompensasi finansial. Ini menunjukkan adanya karakteristik harta dari manfaat tersebut.
Untuk menjual merek dagangnya, penjual harus menyediakan apa saja informasi dan keahlian yang diperlukan oleh pembeli, agar barang baru –yang dia produksi—kualifikasinya sama dengan barang aslinya. Sebab, jika di antara keduanya beda, maka ini merupakan penipuan dan tipu muslihat. Padahal, Rasul SAW telah bersabda, “Siapa yang melakukan penipuan, maka dia bukan dari golongan kami.” [HR Muslim] Rasulullah SAW juga bersabda, “Orang yang melakukan penipuan berada di neraka.” [HR Ibn Hibban, At-Thabrani]
Karena itu, jual-beli merek dagang dibolehkan, dengan syarat pembeli mendapatkan semua informasi dan keahlian yang diperlukan dari penjualnya agar kesesuaian barang baru dengan barang aslinya bisa dipenuhi.
Orang yang pergi ke pasar untuk membeli barang, dengan seluruh zatnya, sebenarnya dia mencurahkan hartanya sebagai kompensasi barang, yang namanya terkait dengan karakteristik dan standar tertentu. Berdasarkan semuanya itu, dia pun membayar harga barang tersebut. Jika nama dan bentuknya tetap, tetapi spesifikasi dan standarnya berbeda, maka pembeli tersebut sebenarnya telah membeli barang lain, bukan barang yang harganya dia bayar untuk dibeli. Ini jelas merupakan bentuk penipuan.
As-Salus mengatakan, “Jika merek barang tertentu, dan merek tersebut dipindahtangankan kepada perusahaan lain, bukan pemilik merek aslinya, maka pemilik asli merek tersebut wajib memberikan apa yang dibutuhkan oleh pemilik barunya, yaitu seluruh informasi, bahan atau yang lainnya, sehingga barang baru tersebut sama sekali tidak berbeda dengan barang aslinya. Jika tidak, maka ini merupakan tindak penipuan, kecurangan dan gharar kepada masyarakat.” [As-Salus, al-Iqtishâd al-Islâmî wa al-Qadhâyâ al-Fiqhiyah al-Mu’âshirah, hal 749]
Pelanggaran terhadap merek dagang dengan menirunya, juga merupakan bentuk penipuan. Pencantuman nama merek dagang suatu barang tertentu yang sudah dikenal pada barang lain juga bagian dari penipuan, kebohongan dan kecurangan kepada pembeli.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 223