Apakah Anda mengetahui rata-rata orang Korea Utara (Korut) hidup dari hasil kapitalisme? Tahukah anda paling kurang separuh penduduk Korut menonton drama serta mendengarkan musik pop (K-Pop) Korea Selatan? Apakah Anda mengetahui dari 2,3 juta tentara Korut, mayoritasnya bekerja di proyek swasta ketimbang merencanakan penghancuran terhadap AS dan tetangganya Korsel?
Pertanyaan itu diajukan Daniel Tudor dan James Pearson, serta sekaligus membuka bukunya yang diberi judul North Korea Confidential, Private Markets, Fashion Trends, Prison Camps, Dissenters and Defectors (2015). Rangkaian pertanyaan itu menggelitik sekaligus menumbuhkan pertanyaan lanjutan: Benarkah demikian? Bukankah Korut adalah negara sosialis-stalinis yang didirikan sejak 1948 dan diperintah keluarga Kim, dan kini dipimpin oleh Kim Jong Un?
Lewat bukunya itu, Tudor, koresponden The Economist untuk Korea, dan Pearson menguraikan secara lengkap dan menarik dampak dari bencana kelaparan di Korut tahun 1994-1998. Bencana kelaparan itu menewaskan antara 200.000 sampai 3.000.000 jiwa. Bencana dimulai dengan banjir bandang yang menyapu wilayah Korut pada 1994 dan 1995. Banjir bandang menghancurkan sekitar 1,5 juta ton padi dan merusakkan sebagian besar infrastruktur. Sebenarnya kekurangan pangan mulai terasa pada tahun 1993, dan mencapai puncaknya setelah bencana banjir. (Kompas, 15/4/15)
Sebanyak 62 persen pembelot dari Korut yang disurvei pada 2010 menyatakan, mereka melakukan pekerjaan sampingan selain kerja resmi sebelum meninggalkan Korut. Mereka juga terlibat dalam ”pasar abu-abu dan menggunakan nilai tukar mata uang tidak resmi.
Di Korut, berlaku dua nilai tukar mata uang dalam dua ekonomi: ekonomi ”resmi” (orang bekerja di tempat kerja milik negara dan mendapatkan gaji dari negara) serta ekonomi ”pasar abu-abu” (orang memperoleh uang dengan cara tak sepenuhnya legal, tetapi ditoleransi). Istilah bagi pasar ilegal tetapi ditoleransi adalah Jangmadang, kata dalam bahasa Korea kuno yang berarti ”pasar” (di Korsel disebut sijang).
Dalam sistem komunis, secara teoretis, rakyat gratis memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, makanan, dan perumahan. Namun, akibat bencana kelaparan, pemerintah korut tak mampu lagi menyediakan semua itu. Maka, rakyat, para buruh, dan keluarganya harus mencari cara lain untuk mendapatkan uang dan akhirnya menghidupkan jangmadang.
Perekonomian di perbatasan dengan China juga hidup. Di tempat ini, pedagang China bertemu pedagang Korea. Barang-barang produksi China membanjiri Korut. ”Perubahan tidak bisa dicegah. Saya melihat di museum pemimpin besar Korut ada laptop Apple yang konon dulu digunakan ayah Kim Jong Il. Di Pamunjeom, ada gedung menggunakan pendingin ruangan merek Samsung,” cerita seorang teman, Putut Prabantoro, yang baru pulang dari Pyongyang, Ibukota Korut.
Dengan gambaran demikian sanggupkah Korut menyerang pangkalan AS di Ghuam, juga tetangganya Korsel, dengan rudal Nuklir? Serangan yang akan memantik Perang Dunia III? Kecil kemungkinan.
Hiruk pikuk krisis semenanjung Korea saat ini tidak lebih sebatas manuver dan psywar dua negara adikuasa, AS dan China, selaku backuper Korut, dalam rangka mengokohkan hegemoni mereka di kawasan Asia.
Terlebih lagi, angin perubahan juga sepertinya bertiup ke arah Korut. Komunisme Rusia telah ambruk. China sudah memeluk kapitalisme. Kuba pun merasa tidak bisa hidup tanpa Amerika Serikat. Maka, Korut tinggal menunggu waktu.
Yang lebih menarik untuk ditunggu adalah, bagaimana masa depan semenanjung Korea, Timur Tengah, dan Dunia pada umumnya, jika Amerika dan China, terus saling jegal dan ‘menghancurkan’ sesama?
Belum lagi kedua negara superpower tersebut kropos secara internal (self destructive) akibat krisis utang dan bubble economy. Akankah akan muncul negara Adidaya Baru? Khilafah Islam misalnya? Time Will Tell… []
@rozyArkom (Analis Politik APR)