Mediaumat.info – Pidato kenegaraan Jokowi pada tanggal 16 Agustus 2024 lalu yang dengan gagahnya melaporkan bahwa ekonomi membaik dengan pertumbuhan 5,1% dan tingkat inflasi 3,1%, serta menuturkan karena kondisi ekonomi global yang masih relatif stagnan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih bertumpu pada permintaan domestik dinilai hanya kamuflase yang mengenaskan.
“Apa yang disampaikan Jokowi seakan kabar gembira yang membahagiakan. Tapi ternyata ini hanya kamuflase yang mengenaskan,” ujar Direktur Paradigma Institute Muhammad Ihsan YS dalam pers rilis yang diterima media-umat.info, Ahad (25/8/2024).
Pasalnya, jelas Ihsan, fakta yang terjadi berbeda, Jokowi hanya memoles kalangan miskin agar bisa membeli namun daya beli sebenarnya sedang jatuh.
Buktinya, beber Ihsan, motor pertumbuhan ekonomi nasional masih bergantung pada konsumsi domestik yang ditopang oleh bantuan dan subsidi pemerintah. Artinya, ini adalah pertumbuhan semu yang ditopang oleh bantuan-bantuan pemerintah kepada rakyat miskin agar terjadi daya beli dari kalangan orang miskin.
Padahal, kata Ihsan, fakta yang terjadi pada kalangan menengah saat ini sedang terjun bebas. Jumlah kelas menengah Indonesia semakin jatuh karena tekanan kenaikan harga bahan pangan dan menurunnya pendapatan.
Menurutnya, besarnya tekanan kelas menengah tercermin dari melonjaknya pengeluaran untuk pangan, menurunnya penjualan motor/mobil, meningkatnya pekerja informal di Indonesia, hingga pesimisme mereka melihat ekonomi Indonesia.
“Dan saat ini makin banyak terjadi PHK akibat melemahnya permintaan pasar sehingga produksi tertahan dan ekspor menurun yang diakibatkan menurunnya kinerja industri manufaktur sehingga Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur masuk ke zona kontraksi.
Selain itu, Ihsan menyebut, beberapa faktor yang mendukung lemahnya daya beli adalah judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) yang semakin marak yang sangat berimplikasi pada daya beli yang sangat menurun.
“Dan deflasi yang tercatat tiga bulan berturut-turut adalah bukti kuat daya beli yang sangat menurun di kalangan masyarakat,” terangnya.
Oleh karena itu, Ihsan melihat, angka-angka yang disampaikan oleh Presiden Jokowi pada Pidato kenegaraan kemarin ternyata hanyalah polesan-polesan agar ekonomi terlihat cantik padahal fakta yang terjadi jauh dari pertumbuhan.
Hanya Kalangan Tertentu
Menurutnya, pertumbuhan ini terjadi hanya bagi kalangan-kalangan tertentu yang menikmati proyek-proyek pembangunan dan tambang-tambang swasta, tapi tidak berefek bagi masyarakat banyak.
“Hanya angka-angka pertumbuhan yang disampaikan tapi tidak menyampaikan fakta isi di dalamnya, di mana terjadi kesenjangan dan kemiskinan yang mengerikan dan semakin menganga,” bebernya.
Perhitungan tersebut, beber Ihsan, didapat dari perhitungan pertumbuhan ekonomi terutama Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang merupakan alat ukur dari sistem kapitalis yang sering digunakan untuk kelayakan sebuah negara bertumbuh dan bisa berutang lagi.
“Padahal faktanya alat ukur ini tidaklah layak dijadikan ukuran dengan besarnya perbedaan pendapatan rakyat di sebuah negara,” terangnya.
Ia mencontohkan, di negeri ini kekayaan 43.000 orang terkaya di Indonesia (yang mewakili hanya 0,02% dari total penduduk Indonesia) setara dengan 25% PDB Indonesia. Dan kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia setara dengan 10,3% PDB, yang merupakan jumlah yang sama dengan kombinasi harta milik 60 juta orang termiskin di Indonesia. Angka-angka ini mengindikasikan konsentrasi kekayaan yang besar untuk kelompok elit yang kecil.
“Sungguh fakta-fakta di atas menunjukkan ada yang salah pada pengelolaan negeri yang subur ini,” pungkas Ihsan. [] Agung Sumartono
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat