Jokowi: “Saatnya membuka Fakultas Logistik, Packaging, Green Building”. Come On, Pak Jo, Siapa sih Penyusun Pidato Anda?
@rozyArkom
“Bagus, Joko. Jangan biarkan Fakta menghalangi Cerita Dongeng yang bagus”. Jake Van Der Kamp, Ekonom South China Post
Terkait Pemerintah, memang kurang elok mengeritisi sisi personal. Saya pribadi, sejauh ini sebatas mengeritik dan mengevaluasi ideologi, visi dan policy.
Namun, harus diakui, berbagai pidato presiden Jokowi belakang ini, banyak membuat gerah dan gaduh. Misalnya, pidato Jokowi hari ini (4/8), di acara Rapimnas 1 Partai Hanura, yang berhasil ‘memaksa’ saya untuk komentar bahkan membuat tulisan.
Pidato kali ini tidak panjang. Sekitar 20 menit. Diantara yang membuat gerah adalah pernyataan Jokowi bahwa (membangun) Infrastruktur yang terpenting baru kemudian (membangun) SDM. Entah apa yang ada dibenak presiden, apakah Ia sadar bahwa pandanganya tersebut mirip doktrin penjajah Belanda? Masifkan pembangunan fisik dan sebaliknya marjinalkan pendidikan.
Statement lain yang juga menggelikan terkait ide ‘nyeleneh’ dan niatan presiden membuka Fakultas yang “up to date” di Kampus, semisal Fakultas “Green Building”, “Logistic” dan “Packaging”.
Sepertinya presiden kita agak kabur mana “ruang lingkup ilmu”, mana yang sekedar “tema”. Padahal, Jokowi pernah mengenyam pendidikan tinggi di Kampus ternama, UGM. Harusnya beliau tahu betul bahwa Fakultas di Perguruan Tinggi tidak sesempit dan sesederhana itu.
+
Blunder Pidato Presiden bukan kali ini saja. Ada beberapa kasus yang viral dan menjadi sumber kegaduhan nasional.
April 2015, saat berpidato di Forum memorial KAA, Jokowi menyerukan pemimpin negara-negara Asia-Afrika untuk menjauhi dan menghentikan dominasi lembaga keuangan Internasional semisal IMF dan World Bank. Ini menjadi lucu ketika seruan ini hanya berselang 7 hari setelah pemerintah mengemis utang USD 11 milyar (sekitar Rp 144 triliun) ke World Bank.
Juni 2016, saat menyampaikan pidato peringatan hari lahir pancasila di Blitar, Jokowi keseleo lidah menyebut tempat kelahiran Soekarno di Blitar. Padahal yang benar di Surabaya. Pemimpin salah dalam berpidato itu manusiawi, namun yang tidak wajar manakala yang minta maaf (dan mengundurkan diri) bukanya si orator tapi staf penyusun pidato. Tak nampak sikap ‘gentleman’ mengaku keliru layaknya seorang pemimpin sejati.
Maret 2017 kehebohan kembali terjadi. Pada pidatonya di Hongkong, Jokowi menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia nomor 3 tertinggi di dunia. Menjadi heboh ketika media-media internasional mengeritisi klaim tersebut. Ekonom Jake van Der Kamp bahkan sampai memuat ulasan khusus di harian South China Post yang membantah Jokowi. Indonesia tidaklah nomor 3 bahkan masuk 10 besar pun tidak. Ia menulis sindiran satir, “Terima kasih untuk pertunjukannya, Joko. Tapi anda sebaiknya punya hal yang lebih baik untuk dilakukan daripada membual soal GDP yang konyol”.
Pidato lain yang mengundang kontroversi bahkan kecaman yakni pidato di Tapanuli Utara, manakala Jokowi menganjurkan pemisahan antara Politik dengan Agama. Seruan yang sejatinya hanya pantas disampaikan oleh tokoh atheis-komunis bukan presiden negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Pidato lain yang sedang hangat dan (juga) mengundang polemik terkait penggunaan Rp 90 triliun dana haji untuk infrastruktur. Ini disampaikan Jokowi saat melantik pengurus Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Kebijakan yang jelas keliru, melambak UU No 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan diatas itu semua melanggar Syariah Islam karena dana haji adalah milik umat, yang mana tidak ada akad dan persetujuan calon jemaah haji bahwa dana mereka diinvestasikan untuk infrastruktur.
+++
Nyaris ada saja blunder dihampir setiap pidato yang disampaikan presiden. Seolah-olah, isi pidato Jokowi, mohon maaf, selain banyak berisi repetisi klaim prestasi, terkadang juga berisi data “sampah” yang mengundang masalah.
Wahai anda penyusun pidato presiden, bertaubatlah. Jangan terus menerus menjerumuskan presiden dengan data dan retorika keliru. Namun jika pak Jokowi berpidato secara Impromptu, sadarlah pak. Atau lebih baik diam. Sebagaimana pesan Hadits, “Berkatalah benar, atau Diam”. [fr]