Mediaumat.info – Penobatan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo sebagai finalis tokoh terkorup 2024 oleh jaringan jurnalis investigasi global Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), diibaratkan pepatah lama ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’.
“Ibarat dalam pepatah kita itu, ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’,” ujar Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) dalam Fokus: Jokowi Penguasa Terkorup Versi OCCRP, Ahad (5/1/2025) di kanal YouTube UIY Official.
Menurutnya, kalau ada laporan masuk ke jaringan jurnalis investigasi global dengan staf di enam benua dan berspesialisasi dalam kejahatan terorganisir dan korupsi tersebut, berarti menunjukkan adanya ‘sesuatu’.
Maka itu, kata UIY lebih lanjut, penting bagi aparat penegak hukum di negeri ini untuk menjadikan sebagai petunjuk awal menindaklanjuti catatan penting dari OCCRP ini.
Bukan Kaleng-Kaleng
“Itu kan menunjukkan bahwa ini proyek bukan proyek kaleng-kaleng. Artinya, Ini proyek yang memberikan impak yang sangat nyata,” tandasnya, menyinggung narasi yang dibangun para pendengung (buzzer) yang malah membela mantan Presiden Jokowi.
Selama beroperasi, OCCRP telah membuat lebih dari 702 pejabat dunia mengundurkan diri atau diskors dari jabatan. Laporan-laporan lembaga ini juga telah menghasilkan lebih dari 620 dakwaan, berbagai vonis hukuman, hingga lebih dari 100 aksi korporasi.
Maknanya, jikalau pemerintah saat ini memang ingin memberantas tindak pidana korupsi, maka sikap dasarnya tak boleh mengelak dengan dalih untuk melindungi kehormatan mantan presiden.
Justru sekali lagi harus berusaha menindaklanjuti laporan itu. “Ditindaklanjuti. Jika benar, diteruskan ke pengadilan. Jika salah, maka ini justru menjadi alat yang bagus untuk mengklarifikasi,” tandasnya.
Rusak dan Merusak
UIY mengatakan, istilah korupsi yang berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus bermakna rusak, jahat, buruk, memperburuk dan kotor. Bahkan bisa berarti kebusukan, kebejatan dan ketidakjujuran.
“(Sedangkan) corruption power itu bukan kekuasaan yang sekadar nyolong duit. Bukan. Tapi kekuasaan yang rusak, merusak, jahat, buruk kotor,” tegasnya.
Sehingga, sebagaimana dikabarkan, pantaslah jika Jokowi disandingkan dengan pemimpin korup di dunia versi OCCRP. Sebab, telah rusak tatanan hukum konstitusi, lembaga negara, sekaligus demokrasi negeri ini di era kepemimpinannya.
Disebut merusak hukum konstitusi, karena Jokowi dianggap cawe-cawe lewat iparnya yang duduk sebagai Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.
Dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2003, Mahkamah memberikan lampu hijau kepada putra Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi calon wakil presiden 2024. Hal lain, Jokowi merestui revisi UU KPK pada 2019 yang membuat komisi antirasuah ini kian lemah.
Puluhan pegawai KPK yang berintegritas juga disingkirkan lewat asesmen Tes Wawasan Kebangsaan dalam rangka alih status menjadi aparatur sipil negara. Padahal merekalah, yang menurut UIY, terbukti memiliki kinerja luar biasa dalam pelaksanaan tugas KPK.
Belum lagi kasus dugaan pemerasan yang melibatkan Firly Bahuri ketika menjabat sebagai ketua KPK. Meski sudah dilaporkan pada 12 Agustus 2023, Polda Metro Jaya belum menahan Firli dan berdalih sedang melakukan pengembangan dugaan korupsi tersebut ke dugaan tindak pidana lain.
Di sisi lain, meski belum terbukti bersalah, KPK dengan sigap menahan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, menteri perdagangan (Mendag) 2015-2016. “Itu kan drama yang merupakan ikutan atau rentetan dari pelemahan KPK,” lontar UIY.
Hal serupa juga tampak dari penetapan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dan kawasan terpadu Bumi Serpong Damai (BSD), maupun Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif (KWTE) Rempang, ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sekali lagi disinyalir sarat kongkalikong.
“Ketika presiden itu menandatangani keputusan PSN untuk PIK 2 maupun Rempang, juga untuk BSD, itu apa iya cuma-cuma? Rakyat Indonesia itu sudah hafal loh,” lontar UIY.
Lanjut ke Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), perubahan dari UU Nomor 4 Tahun 2009, yang justru memberikan kepastian perpanjangan 2 kali 10 tahun opsi 2 kali 10 tahun lagi bagi perusahaan swasta.
Padahal sebagaimana ketentuan di UU 4/2009, sekitar 380 ribu hektare ladang batu bara yang ditangani oleh 7 perusahaan pemegang PKP2B, harus dikembalikan ke negara.
“Kayak gitu itu apa ya kita ini sebodoh itu, untuk tidak memahami patgulipatnya kekuasaan dengan pengusaha,” lugasnya, seraya menyampaikan potensi pendapatan negara dari sektor batu bara saja yang bisa mencapai ribuan triliun rupiah jika dikelola secara mandiri oleh negara.
Tak ayal, UIY pun mengatakan di masa kepemimpinan Jokowi selama 10 tahun inilah suasana korup sangat terasa. “Nah, siapa yang paling bertanggung jawab di sini? Masak Pak RT? Presidenlah. Di situ konteksnya itu kita harus membaca laporan OCCRP itu,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat