Jokowi Keluarkan Limbah Batu Bara dari Golongan B3, Bahayakan Rakyat dan Lingkungan

Mediaumat.news – Dikeluarkannya limbah batu bara (FABA) dari golongan limbah bahan berbahaya beracun (B3) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021, menurut Aktivis ’98 Agung Wisnuwardana hanya menguntungkan investor tapi membahayakan rakyat dan lingkungan.

“Ini sangat berbahaya sekali buat lingkungan, ujungnya akan membahayakan rakyat secara keseluruhan, dan hanya menguntungkan segelintir para investor yang menanamkan modal di sektor ini,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Sabtu (13/3/2021).

Agung memandang, limbah yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ini ketika masih digolongkan sebagai limbah B3 saja banyak industri yang melakukan pelanggaran, apalagi ini tidak dimasukkan kategori limbah B3.

Akibatnya, kata Agung, menjadikan pihak industri semakin mudah membuang limbah ini. Jika dibiarkan membuang limbah ini tanpa diolah terlebih dahulu, maka akan membahayakan manusia dan merusak lingkungan.

“Ujungnya rakyat yang dirugikan, tapi investor senang sebab tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengolah limbah ini menjadi limbah yang tidak berbahaya, dan keuntungan pun semakin besar,” bebernya.

Agung membeberkan, ternyata yang dikeluarkan dari golongan limbah B3 tidak hanya limbah batu bara saja. Tapi limbah penyulingan kelapa sawit, limbah nikel, dan limbah besi baja ikut dihilangkan juga dari golongan B3. Ini tentu mengakibatkan kerusakan lingkungan akan semakin parah.

Agung menyebut, dikeluarkannya peraturan pemerintah ini sebenarnya tidak terlalu mengagetkan, sebab ini merupakan turunan dari UU Omnibus Law yang membuka investasi besar-besaran (khususnya investasi asing) di Indonesia.

“Dan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia, maka diberikanlah kemudahan-kemudahan antara lain adalah reduksi lingkungan hidup dan upah buruh murah,” ungkapnya.

Ia menilai, ini dilakukan karena Indonesia sejak merdeka para penguasanya membangun negeri ini dengan basis pajak, utang dan investasi asing.

“Inilah pola pembangunan dengan paradigma kapitalisme liberal yang sudah terbukti membuat kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi semakin tajam, dan kerusakan di berbagai bidang kehidupan,” tegasnya.

Berbeda dengan khilafah, kata Agung, sistem pemerintahan Islam yang berfungsi menerapkan syariat Islam secara total tersebut menjamin keseimbangan ekonomi dan lingkungan hidup.

“Poinnya adalah melaksanakan pilar syariah Islam baik dari konteks individu, konteks komunitas, maupun konteks negara,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: