Jokowi Jengkel Pengadaan Barang dan Jasa Impor, Hanya Lip Service?

Mediaumat.id – Kejengkelan Presiden Joko Widodo terkait banyaknya anggaran modal pengadaan barang dan jasa yang dibelikan barang impor, dinilai Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana sebagai lip service sehingga publik tak perlu merasa kaget.

“Kita tak perlu kaget, sikap lip service demikian kerap ditunjukkan oleh penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme hari ini,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (21/6/2022).

Sebagaimana diberitakan, sikap tersebut disampaikan dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2022, Selasa 14 Juni 2022.

Jokowi jengkel, karena uang rakyat dari pajak dikumpulkan dengan susah payah justru dipakai untuk menyejahterakan rakyat di negara lain.

Artinya dari jumlah APBN sebesar Rp 2.714 triliun ditambah APBD Rp 1.197 triliun, belanja pemerintah pusat dan daerah saat ini banyak didominasi untuk produk impor.

Lebih jauh, lanjut Agung, sikap tersebut juga telah nyata menunjukkan ketidakmampuannya dalam mengelola negara.

“Sebenarnya, rakyat hanya sederhana saja dalam berpikir, bahwa orang nomor satu di suatu negeri sudah seharusnya memiliki wewenang kuat untuk mengendalikan kinerja bawahannya agar bekerja sesuai arahannya,” terangnya.

Sehingga seharusnya pula, sangat mudah memerintah dengan kewibawaan seorang pemimpin untuk menekan kebiasaan impor jajarannya. “Berulang kali Jokowi merasa geram, padahal dia sebagai presiden memiliki kewenangan untuk menekan jajaran di bawahnya,” tandasnya.

Maknanya, ketika impor dilakukan terus-menerus maka kebijakan tersebut otomatis menjadi tanggung jawab seorang presiden.

Tetapi jangankan demikian, selama delapan tahun pemerintahan Jokowi, kata Agung, tidak ada tanda-tanda program nawacita, sembilan prioritas pembaruan Indonesia agar memiliki kedaulatan secara politik, serta mampu mandiri dalam melakukan pengelolaan ekonomi dan memiliki kepribadian yang berbudaya, bakalan tercapai.

Maka itu wajar apabila beberapa tokoh oposisi sempat menyebut Presiden Jokowi sebagai si raja impor, sementara menteri perdagangannya dikatakan ugal-ugalan.

“Bahkan, di level internasional, Indonesia telah didapuk sebagai peringkat ketiga negara terbesar pengimpor pangan,” ungkapnya.

Atas dasar itu, di dalam sistem demokrasi-kapitalisme yang menerapkan sistem ekonomi yang juga kapitalis, terang Agung, memang tak bisa lepas dari kebiasaan impor. Meski, dari kegiatan tersebut kerap menciptakan permasalahan yang tak kunjung terselesaikan.

Dampak Ketergantungan Impor

Di sisi lain, ia menjelaskan, setidaknya ada lima dampak dari ketergantungan impor yang telah menjadi gaya rezim saat ini.

Pertama, adanya defisit neraca perdagangan antara impor dan ekspor yang semakin melebar. “Sehingga akan berdampak pula pada dunia usaha yang semakin terhimpit,” ungkapnya.

Kedua, pembukaan keran impor secara masif juga bertentangan dengan keinginan pemerintah yang justru ingin memberikan relaksasi ekspor.

Ketiga, kebijakan memuluskan impor akan mematikan sektor-sektor industri dan pertanian di dalam negeri. “Produk dalam negeri kesulitan bersaing dengan produk asing,” timpalnya.

Keempat, kebijakan impor akan senantiasa memelihara sindikasi dan mafia impor atau para pemburu rente yang selama ini diuntungkan. “Sehingga, makin pula menumbuhsuburkan peluang-peluang korupsi di semua lini,” bebernya.

Kelima, bertambahnya ketergantungan barang dan jasa dari asing, akan semakin meragukan nilai dari suatu barang dan jasa dalam negeri. Maknanya, sangat berpotensi mematikan upaya memajukan kualitas produk dalam negeri.

Lantas dari semua itu, sambung Agung, akan berujung pada semakin jauhnya rakyat dari harapan sejahtera.

“Anggaran besar yang seharusnya bisa dibelanjakan untuk produk dalam negeri, yang seharusnya (pula) mampu menstimulasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri, harus terbuang untuk impor barang dan jasa dari asing,” ulasnya.

Tak hanya itu, kebiasaan rajin impor dimaksud, menurut Agung juga terbukti menampar para petani hingga harus merugi ketika musim panen tiba. Pasalnya, di saat bersamaan, tak jarang bahkan berkali-kali dihadapkan pada melimpahnya pasokan produk impor.

Dengan kata lain, kebijakan impor yang diambil di tengah surplus produksi, kata Agung kembali menegaskan, nyata semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan.

Namun demikian, ringkasnya, untuk bisa keluar dari kondisi demikian, negara wajib hadir dan menjalankan semaksimal mungkin amanah dari Allah SWT dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat melalui ketentuan yang telah ditetapkan oleh-Nya.

“Hal ini menuntun negara untuk berswasembada, baik sektor pertanian atau perkebunan, peternakan, perikanan maupun industri,” tuturnya.

Dengan catatan, dukungan negara dari hulu ke hilir, baik berupa lahan, dana, sarana prasarana, teknologi dan distribusi produknya pun harus ada.

Apalagi realitas hari ini di negeri-negeri Muslim sudah tersedia bahan-bahan mentah. Potensi alam dan sumber daya manusianya pun sudah mendukung. Sehingga secara swasembada, tentu tidak terlalu sulit untuk diwujudkan. “Sehingga impor bisa saja tak dilakukan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: