Mediaumat.id – Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mempertanyakan untuk keuntungan siapa kebijakan Presiden Jokowi yang mengizinkan kembali ekspor pasir laut yang telah dilarang selama 20 tahun sejak Presiden Megawati. “Untuk keuntungan siapa sebenarnya pembukaan ekspor pasir laut ini?” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (30/5/2023).
Menurut Iwan, pembukaan kembali ekspor pasir laut berarti pembukaan kembali pertambangan pasir di pesisir yang memberikan dampak kerusakan besar pada masyarakat secara ekosistem dan ekonomi. Banyak pihak dari kalangan pengamat lingkungan mulai Greenpeace hingga mantan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti memprotes kebijakan ini.
“Apakah pemerintah berpikir serius melindungi negara ini dan rakyatnya?” ucapnya.
Iwan melihat, ada beberapa sebab sehingga kebijakan tersebut harus ditentang. Pertama, pengerukan pasir pantai akan merusak ekosistem di wilayah tambang. Pantai yang menjadi habitat sejumlah satwa laut terancam berkurang bahkan punah.
Kedua, keadaan ini akan berdampak pada terancamnya kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggantungkan hidup mereka pada laut di wilayah tambang tersebut.
Iwan menyebut, Walhi mencatat ekspansi pertambangan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengakibatkan 35.000 keluarga nelayan kehilangan ruang hidup. Selain itu, ada 6.081 desa di pesisir yang kawasan perairannya tercemari limbah pertambangan.
Ketiga, eksploitasi pasir laut akan menyebabkan kelangkaan pangan. Sebab, laut merupakan salah satu sumber pangan utama masyarakat Indonesia.
Keempat, penambangan pasir pantai juga akan memberikan ancaman abrasi pada kawasan wilayah pertambangan.
Iwan menceritakan, tahun 2019, TNI Angkatan Laut menyetop aktivitas pertambangan pasir darat di Pulau Citlim, Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, karena dikhawatirkan akan membuat pulau itu tenggelam. Ada lagi Pulau Patah, Selat Mie, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau yang berada di ujung tanduk akibat penambangan pasir tersebut.
“Dua belas tahun lalu, Pulau Sebaik di Karimun hilang dari peta karena tenggelam akibat pertambangan pasir darat yang tidak terkontrol,” bebernya.
Iwan mengingatkan, penambangan pasir pantai di kawasan perbatasan juga mengancam garis batas perbatasan negara. Sebagai contoh, Pulau Nipa di Kepulauan Riau nyaris tenggelam akibat masifnya pengerukan pasir pantai. Padahal, pulau ini menjadi salah satu tolak ukur perbatasan dengan negara tetangga Singapura.
Selain itu, kata Iwan, pasir Indonesia dijual terlalu murah hanya 1,3 dolar Singapura per meter kubik, padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar 4 dolar Singapura. Dengan selisih harga itu, Indonesia rugi sekitar 540 juta dolar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun. Belum lagi para pengusaha tambang sering memanipulasi laporan seperti mengaku menambah 100 ton padahal realitanya 1000 ton.
Terakhir, Iwan mengatakan, banyak pihak menuding ini hanya menguntungkan pengusaha tertentu. Dan ditengarai kebijakan ini akan menjadi peluang bagi para elite politik untuk mencari rente sebagai pembiayaan pemilu eksekutif dan legislatif. Hal itu karena para pengusaha pertambangan pasir itu merasa berutang budi dengan pencabutan larangan ini.
“Kalau benar ini terjadi, lagi-lagi oligarki yang berkuasa di negeri ini, bukan rakyat. Demokrasi hanya alat kekuasaan penguasa dan pengusaha,” pungkas Iwan.[] Agung Sumartono