Mediaumat.id – Pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa 60 negara akan ambruk dan dari jumlah itu, ekonomi 42 negara sudah dipastikan menuju ambruk, hanyalah menyampaikan data ulang yang sudah diterbitkan oleh IMF dan World Bank (WB).
“Adapun yang disampaikan Pak Presiden sebenarnya hanya menyampaikan ulang data yang sudah diterbitkan oleh IMF dan World Bank (WB),” ujar Ekonom Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta kepada Mediaumat.id, Ahad, (26/6/2022).
Hatta pun membeberkan rincian data dimaksud. Menurutnya, lembaga keuangan dunia IMF dan World Bank di awal pandemi bulan Mei 2020 telah membuat sebuah program yang dirancang untuk membantu negara-negara di dunia mengatasi risiko tingkat utang yang semakin tinggi seiring terjadinya pandemi.
Program ini bernama Debt Service Suspension Initiative (DSSI). Dari 73 negara yang terdaftar, 41 di antaranya termasuk ke dalam berisiko tinggi dan atau dalam kesulitan (in distress). Hingga akhir tahun 2021, tidak kurang 12.9 miliar dollar pembayaran utang telah ditangguhkan. Dan mayoritas dari 73 negara tersebut berasal dari Benua Afrika. Dilihat dari sisi kelompok pendapatan, 73 negara tersebut masuk ke dalam low and lower middle income countries (LIC).
Menurut Hatta, perekonomian global secara keseluruhan memang sedang dalam kondisi pelik dan terhuyung-huyung. Kondisi pandemi yang belum sepenuhnya hilang saat ini telah memukul masyarakat langsung dari dua sisi. Dari sisi pendapatan harus menghadapi penurunan, dan dari sisi pengeluaran atau belanja menghadapi kenyataan semakin besar, seperti belanja kebutuhan barang-barang penunjang kesehatan.
Ia melihat, pandemi Covid-19 dan Perang Rusia-Ukraina hanyalah kondisi yang mempercepat kerusakan ekonomi menyeruak ke permukaan. Meskipun pembangunan ekonomi global sebelum pandemi tampak menghasilkan pertumbuhan yang tinggi, namun memiliki kualitas yang rapuh seperti kesenjangan kepemilikan harta kekayaan yang begitu lebar.
“Apa yang terjadi pada 73 negara tersebut sudah ada sejak lama, jauh sebelum pandemi, bahkan dengan tingkat rasio utang yang lebih tinggi dari sekarang. Di lihat dari krisis ekonomi lebih luas (keuangan dan moneter), krisis bahkan sudah terjadi berulang kali,” terangnya.
Mengutip catatan Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects 2022, Hatta mengatakan, setidaknya telah terjadi krisis keuangan dan moneter di negara Emerging Market and Developing Economies (EMDEs) sebanyak 417 kali sejak tahun 1970 hingga saat ini.
Dengan manambahkan krisis di sektor yang sama di negara-negara maju (edvanced economies) tentunya akan bertambah lebih banyak lagi. Seperti krisis keuangan dan kredit macet sektor properti di Amerika Serikat yang kemudian merambat ke seluruh dunia, hingga krisis utang di Eropa yang membuat Yunani mendapat predikat negara gagal bayar alias bangkrut.
“Krisis yang sudah lama dan berulang kali terjadi tersebut tentunya memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa sebab terjadinya krisis adalah faktor-faktor yang jauh lebih dalam dan fundamental. Jika tidak demikian, maka tentunya tidak akan terjadi berulang kali bahkan menjadi lebih buruk,” ucapnya.
Kondisi Indonesia
Hatta menilai, meskipun Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok tersebut, namun bukan berarti ekonomi Indonesia dalam kondisi baik. Contohnya bisa dilihat dari perbandingan utang dan pendapatan Indonesia. Kualitas utang seorang individu tentu saja harus dibandingkan dengan pendapatan yang mampu dihasilkannya, bukan pendapatan orang lain.
Dalam konteks ini, ungkap Hatta, kondisi total utang pemerintah (tidak termasuk BUMN) yang mencapai Rp7.002 triliun (Mei 2022) sementara pendapatan negara (APBN) 2022 hanya Rp1.846 triliun, itu sama artinya utang telah mencapai 379 persen lebih besar dari pendapatan.
“Jumlah utang jauh lebih besar dari pendapatan alias besar pasak daripada tiang, hampir 4 kali lipat,” tegas Hatta.
Sedangkan kalau dibandingkan hanya dengan bunga utangnya saja, ungkap Hatta, rasio pembayaran bunga utang (2022) terhadap pendapatan negara mencapai 22 persen. Kalau ditambah beban pembayaran pokok utang dalam jangka pendek (kurang dari 1 tahun) pada kuartal 4 tahun 2020 senilai Rp509 triliun, itu artinya pemerintah harus membayar Rp914 triliun atau sebanyak 50 persen dari total pendapatan tahun 2022.
“Kalau sudah seperti itu, untuk melayani kebutuhan rakyatnya pakai apa?” ucap Hatta.
Terakhir Hatta menegaskan, baik buruknya kondisi ekonomi sebuah negara tidak hanya berkaitan seberapa profesional pemangku kebijakan, melainkan juga berkaitan erat dengan seberapa jauh aturan main ekonomi yang dipakai mampu menjalankan roda ekonomi dengan adil dan menjaga unsur-unsur asing (faktor luar) yang berpotensi merusak kesehatan ekonomi.
Ia mengungkapkan, sistem ekonomi kapitalistik yang dipakai oleh Indonesia sejatinya adalah sistem ekonomi yang tidak akan pernah memberikan keadilan. Melainkan hanya menguntungkan bagi para pemilik modal dan oligarki, baik asing maupun domestik.
Hatta mencontohkan, sistem keuangan-moneter ribawi dan spekulatif yang dipakai Indonesia. Selamanya Indonesia akan terjebak ke dalam bunga tinggi atau bunga rendah. Padahal, konsep bunga sedari awal kelahirannya sudah tidak adil. Bagaimana mungkin bisa dikatakan adil, ketika bisnis yang dijalankan belum pasti mendapatkan keuntungan (bisa untung, rugi, atau impas), posisi bunga alias riba justru harus dibayar setiap bulannya. Mau untung atau rugi, tetap bayar bunga. Sehingga sangat aneh jika yang dipersoalkan hanya sebatas rendah atau tinggi.
“Lantas mau sampai kapan melakukan eksperimen terhadap sistem keuangan kapitalistik ribawi dan gambling alias judi yang terbukti telah gagal dan membawa malapetaka bagi rakyat?” pungkasnya.[] Agung Sumartono