Jokowi dan Indonesia Tak Se-Merdeka Teriakan Gibran
Oleh : Aji Putra Sudarsono
MERDEKA !!… MERDEKA !!… MERDEKA !!… kata Gibran Rakabuming Raka dengan lantang mengakhiri sambutannya usai mendapat surat rekomendasi dari DPP PDI Perjuangan untuk menjadi calon wali kota Solo, Jawa Tengah. Gibran merupakan calon yang direkomendasi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Rekomendasi itu harus dikawal menjadi kemenangan. Ia menyebut, mesin partai siap untuk dipanaskan kembali untuk memenangkan Pilkada Solo 2020. “Apalagi kemarin habis Pilpres. Jadi, mesin partai saya siap,” kata Rudy seorang kader PDIP (rmco.id, 17/07/2020).
Keputusan memilih Gibran menjadi calon wali kota Solo, sudah diprediksi sejak Gibran resmi menjadi kader dan mendaftar lewat DPP PDI Perjuangan. Secara langsung atau tidak, Presiden Joko Widodo juga berperan dalam memuluskan Gibran. Meski awalnya DPC PDI Perjuangan Solo merekomendasikan Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo, tapi sinyal untuk memberi tiket kepada Gibran sudah terlihat saat peresmian stadion Manahan Solo, Februari lalu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Merdeka memiliki arti bebas, lepas dari tuntutan, tidak bergantung dengan pihak lain. Dengan menilik pada makna ini, maka Jokowi dan Indonesia tidaklah se-merdeka yang diteriakkan Gibran. Mengapa demikian ? Jika kita lihat kilas balik dari Jokowi, bahwa dirinya bukanlah orang yang merdeka. Disamping Jokowi hanya seorang petugas partai, juga Jokowi menunjukkan sikap tak berdaya saat ditekan oleh para ketua umum partai koalisinya.
Sebelumnya Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengatakan bahwa Jokowi hanyalah seorang petugas partai. Megawati mengatakan masih menyimpan tandatangan Jokowi yang menjelaskan sebagai petugas partai.
“Saya punya tandatangannya Pak Jokowi, dia adalah petugas partai. Tandatangan itu untuk ketua umum PDIP, tapi kan saya tidak pernah beber-beber,” ujar dia.
Mantan Presiden kelima mengatakan selama ini sengaja menyimpan surat yang ditandatangani Jokowi rapat-rapat karena kalau sampai dibuka akan memicu bahan ejekan di media. (Suara.com, 7/1/2017)
Jokowi juga tak berdaya ditekan oleh partai koalisi, Jokowi banyak mendapat tekanan dari partai politik dalam menghadapi kisruh dua lembaga, yaitu KPK dan Polri. Berbagai tekanan itu yang akhirnya membuat mantan Gubernur DKI Jakarta ini sulit untuk mengambil kebijakan. Situasi makin pelik karena Jokowi menjabat sebagai presiden berkat sokongan koalisi partai, sementara dia bukan tokoh partai pengusung (sindonews.com, 29/1/2015).
Dalam pemilihan calon Wakil Presiden, Mahfud MD mengungkapkan detik-detik dirinya batal dipilih sebagai pendamping Jokowi. Padahal, kata Mahfud dirinya sudah diberitahu oleh orang di lingkungan Istana Negara telah dipilih Jokowi. Mahfud pun sudah diminta mempersiapkan segala berkas administrasi serta detail saat akan mendaftar ke KPU. Namun, menjelang pengumuman bersama ketua umum partai politik pendukungnya, Jokowi justru memilih Ma’ruf Amin.
Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade menyebutkan fakta yang nyata di depan mata adalah perubahan pilihan bakal calon wakil presiden pendamping Presiden Joko Widodo lantaran mendapat tekanan dari partai politik pendukung dan kelompok tertentu. Itu terjadi ketika Jokowi menggugurkan nama Mahfud MD sebagai pendampingnya dan lebih memilih Ketua MUI sekaligus Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin pada detik akhir (cnnindonesia.com, 18/08/2018).
Selain Jokowi, begitu pula dengan Indonesia tidaklah se-merdeka teriakan Gibran. Sejak diprokalmirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, sejatinya Indonesia tidaklah sepenuhnya menjadi Negara yang merdeka. Proklamasi itu hanyalah sebagai masa transisi Indonesia sebagai Negara terjajah. Jika sebelum masa proklamasi, Indonesia dijajah secara fisik (militer), namun setelah masa proklamasi Indonesia dijajah secara ekonomi dan politik.
Di masa Orde Lama, Soekarno ”menambatkan hatinya” kepada Negara Rusia. Kebijakan-kebijakan Negara diambil oleh Soekarno dengan mengacu kepada Negara komunis tersebut. Selepas Orde Lama, Soeharto dalam memimpin Orde Baru menjadikan “kiblat” politik Negara Indonesia kepada Amerika. Hal ini yang kemudian diteruskan oleh para penerus Soeharto setelah Soeharto “lengser keprabon”. Dari mulai BJ Habibi hingga Susilo Bambang Yudhoyono, para presiden ini menjadikan kebijakan Negara mengacu kepada Amerika, Negara Kapitalis.
Namun semenjak pemerintahan Jokowi, “kiblat” Negara Indonesia dirubah kembali kepada Negara Komunis. Jokowi melalui asuhan Megawati, menjadikan kebijakan Negara Indonesia mengacu kepada Negara Komunis Cina. Sangat terlihat jelas seluruh permintaan Negara Cina dipenuhi oleh Jokowi. Fakta-fakta inilah yang membuktikan bahwa bukan hanya Jokowi, tapi juga Indonesia tak se-merdeka teriakan Gibran.
Pandangan Islam
Merdeka atau kemerdekaan merupakan hal yang paling paling mendasar dalam bernegara. Maka dari itu Islam menjadikan merdeka dan kemerdekaan sebagai prioritas dalam Negara dan kepala Negara. Imam Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitab Al-Khilafah menjelaskan bahwa, terbentuknya Negara menurut syari’at Islam haruslah memenuhi empat syarat, yaitu :
1. Kekuasaan negeri itu haruslah mandiri, hanya bersandar kepada kaum muslimin saja dan bukan kepada salah satu Negara kafir atau di bawah pengaruh orang-orang kafir.
2. Keamanan bagi kaum muslimin di negeri itu adalah keamanan Islam bukan keamanan kufur, artinya pemeliharaan keamanan mereka dari gangguan luar dan dalam negeri berasal dari kekuatan kaum muslimin sebagai suatu kekuatan Islam semata.
3. Negeri tersebut segera menerapkan Islam secara serentak dan menyeluruh, serta segera mengemban dakwah Islam.
4. Khalifah yang dibai’at harus memenuhi syarat-syarat in’iqad (pengangkatan) meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah (keutamaan).
Apabila keempat syara ini terpenuhi, maka Khilafah (Negara Islam) telah terwujud, meskipun Negara (khilafah) ini tidak mewakili mayoritas Ahlul Halli Wal ‘Aqdi.
Jika khilafah telah terwujud sesuai ketentuan syar’I, siapapun yang menjadi khalifahnya (kepala Negara) asal memenuhi syarat-syarat in’iqad. Ada tujuh syarat in’iqad khalifah, yaitu ;
1. Muslim
2. Laki-laki
3. Baligh
4. Berakal
5. Adil
6. Merdeka, dan
7. Mampu melaksanakan amanah khilafah.
Merdeka telah menjadi salah satu syarat in’iqad calon khalifah (kepala Negara). Seorang hamba sahaya, atau seorang tawanan, atau seorang yang berada dalam tekanan pihak lain tidak bisa menjadi khalifah. Karena dia tidak memiliki wewenang untuk mengatur, bahkan dirinya sendiri. Dengan demikian tidak layak mengurusi orang lain, apalagi menjadi penguasa atas manusia.
Itulah konsep Negara dalam syari’at Islam yang sangat jauh berbeda dengan konsep Negara dalam sistem lainnya yang membolehkan Negara dan kepala Negara tidak merdeka, berada dalam pengaruh atau tekanan pihak lain. Hal ini dikarenakan syari’at Islam berasal dari Dzat Yang Maha Mengetahui kekurangan manusia, yaitu Allah SWT. Maka dari itu sejatinya, manusia haruslah terikat dengan seluruh aturan Allah SWT, berupa syari’at Islam yang akan membawa keamanan dan kedamaian di muka bumi ini.
Wallahu a’lam,[]