Mediaumat.id- Pernyataan Presiden Jokowi bahwa negara akan mengambil alih lahan yang menganggur dan akan diberikan kepada rakyat lain yang membutuhkan, dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak merupakan kritik atas dirinya sendiri.
“Pernyataan Jokowi bahwa pemerintah memiliki land bank yang akan mencatat dan mencabut izin HGU dan HGB yang 20-30 tahun tidak digunakan untuk diserahkan kepada pihak lain, merupakan kritik atas dirinya sendiri,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Senin (13/12/2021).
“Semestinya itu sudah dilakukan, sebab pemerintah yang mengeluarkan izin-izin tersebut sehingga bisa mengetahui mana yang tanahnya ditelantarkan mana yang tidak,” sambungnya.
Menurut Ishak, apa yang disampaikan oleh KH Anwar Abbas bahwa indeks gini pertanahan sangat memprihatinkan, yaitu sebesar 0,59, yang artinya 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini, pernah disampaikan oleh Menteri Agraria Sofian Djalil pada tahun 2016 lalu.
“Artinya kalau sekarang masih seperti itu berarti pemerintah selama tidak berhasil melakukan perbaikan,” beber Ishak.
Ishak mengungkapkan, jika merujuk ke data Konsorsium Pembaruan Agraria, konflik lahan selama 7 tahun masa Jokowi lebih tinggi dibandingkan dengan 10 tahun masa SBY, tanah-tanah rakyat banyak yang digusur atas nama pembangunan infrastruktur, properti, perkebunan, pertambangan, atau proyek strategis nasional.
Ishak memandang, pemerintah saat ini tidak punya cukup nyali untuk mencabut izin HGU dan HGB seperti yang dikatakan Jokowi itu. sebab kebanyakan tanah-tanah HGU dan HGB dikuasai oleh para taipan dan korporasi-korporasi, khususnya di sektor properti, pertambangan dan perkebunan.
“Buktinya, selama ini pemerintah tidak berani mengungkap secara transparan siapa yang memiliki izin-izin tersebut dan berapa luas, dan berapa lama sisa izinnya. Padahal, kalau itu diungkap maka akan ketahuan siapa saja yang menguasai tanah-tanah di Indonesia,” ucap Ishak.
Ishak menilai, ketidakberanian pemerintah nencabut izin HGB dan HGU mereka itu, karena merekalah yang selama ini mem-backing pembiayaan para politikus dalam melakukan kontestasi politik. Hal ini adalah mutualisme timbal balik antara pengusaha dan penguasa, yang kadang-kadang merangkap pengusaha, yang lazim dalam sistem demokrasi kapitalisme.
“Alhasil selama sistemnya seperti ini maka akan sulit mengatasi ketimpangan penguasaan lahan ini,” tegasnya.
Kata Ishak, hal ini berbeda di dalam Islam. Tanah-tanah yang dikuasai oleh negara khilafah Islam dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan publik, akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Bahkan yang tidak memiliki modal untuk menggarapnya akan diberikan bantuan modal dari baitul mal. Kemudian, tanah-tanah pertanian yang tidak digarap selama tiga tahun akan disita oleh negara dan diberikan kepada pihak yang bersedia mengelolanya.
“Dengan demikian, distribusi tanah akan menyentuh siapa pun, baik yang kaya atau pun yang miskin. Selain itu, tanah akan menjadi produktif sehingga mendukung kemajuan ekonomi negara dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya,” pungkas Ishak.[] Agung Sumartono