Jokowi Ajak Beli Babi Panggang, Aktivis Islam: Itu Tindakan Tercela

Mediaumat.news – Ajakan Presiden Jokowi untuk membeli Bipang (babi panggang) Ambawang di tengah larangan mudik bagi masyarakat Indonesia dinilai sebagai tindakan yang tercela.

“Tentu apa yang disampaikan Pak Jokowi itu adalah bagian dari tindakan yang tercela,” ujar Advokat dan Aktivis Gerakan Islam Ahmad Khozinuddin dalam Insight: Antara Bipang Ambawang, OTT Bupati Nganjuk dan Ahli Hukum Sidang HRS, Rabu (12/5/2021) di kanal YouTube Pusat dan Kajian Analisis Data (PKAD).

Ahmad menilai, ajakan membeli bipang tersebut adalah perbuatan yang tidak patut dan tidak layak disampaikan oleh seorang kepala negara yang beragama Islam, yang memimpin suatu negeri dengan penduduknya mayoritas Muslim, kemudian disampaikan dalam bulan suci Ramadhan menjelang Idul Fitri.

Ahmad mengatakan, isu babi panggang ini menciderai hati umat Islam. Di saat umat Islam khusyuk menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, di saat umat Islam tidak mudik menahan kerinduan kepada kampung halaman dan orang tua, justru Jokowi menawarkan babi panggang untuk mengobati kerinduan pada kampung halaman. Padahal masyarakat umum semua tahu kalau babi itu haram.

Menurut Ahmad, kalau memang ajakan Jokowi tersebut dimaksudkan untuk promosi meningkatkan UMKM, tapi kenapa yang dipromosikan justru barang haram. Padahal UMKM di Indonesia itu masih banyak yang halal, baik di industri kreatif maupun industri penganan atau masakan.

Ia memandang, narasi yang ditampilkan presiden ini justru bertentangan dengan daerah Kalimantan yang dikenal islami. Sebab di Kalimantan ada banyak pahlawan-pahlawan Muslim seperti Pangeran Antasari.

Ahmad menyayangkan sampai saat ini belum ada pernyataan resmi langsung dari Jokowi berkaitan dengan apa yang telah disampaikan. Beberapa pejabat negara memang telah mencoba untuk mengklarifikasi. Tapi, menurut Ahmad, keterangannya banyak yang simpang-siur.

Ahmad menegaskan, selain perlu klarifikasi juga perlu ada pertanggungjawaban hukum. Sebab seorang kepala negara itu harus berhati-hati menyampaikan ujaran dan tidak bisa sembarangan.

“Dan pertanggungjawaban itu bisa dilakukan secara subyektif, yakni ada inisiatif dari seorang presiden untuk mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggung jawaban atas tindakan yang tercela,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: