Mediaumat.id – Narator film dokumenter Jejak Khilafah di Tatar Sunda #3 (JKTS#3) menuturkan bahwa berita penghapusan khilafah Utsmani menyedot perhatian dunia.
“Saat situasi semakin memburuk dan terjadi penghapusan khilafah, maka berita penghapusan khilafah Utsmani menyedot perhatian seluruh dunia. Meskipun teknologi informasi dan komunikasi belum secanggih hari ini, berita ini pun dengan cepat sampai ke Nusantara,” tutur narator film JKTS#3 yang mulai tayang Ahad (13/2/2022).
Tentu saja, lanjutnya, peristiwa ini membuat umat Islam di Nusantara segera terpanggil untuk bersikap. Maka berbagai gerakan ulama yang diwakili oleh Sarekat Islam, Jami’atul Khair, Al Irsyad dan kaum Pesantren berkumpul dalam Kongres al-Islam dua yang diadakan pada 19-21 Mei 1924 di Garut Jawa Barat.
“Fokus pertemuan ini adalah merespon persoalan penghapusan dan runtuhnya Khilafah. Hal ini tergambar dari pidato pembukaan kongres yang disampaikan Haji Agus Salim,” ujar narator.
Niko Pandawa, salah satu narasumber dalam film tersebut mengatakan, dalam pembukaan kongres H. Agus Salim menekankan soal kondisi umat Islam yang sudah terpecah belah oleh kemunduran yang terjadi di tengah umat, termasuk karena kolonialisasi orang-orang Eropa. Begitupun Khilafah telah dibubarkan. Dan khilafah tidak mampu lagi memimpin umat Islam.
“Maka sebetulnya mereka juga sangat antusias dan peduli dengan peristiwa pembubaran khilafah ini. Masih tokoh yang sama Haji Agus Salim dalam surat kabar yang dia terbitkan mengeluarkan serial tulisan yang berjudul kekalutan dunia islam akibat khilafah dibubarkan,” papar Niko.
Menurut narator, gejolak yang terjadi di Nusantara dirasakan juga oleh umat Islam sedunia. Untuk menghimpun pergerakan yang lebih kuat, para ulama al-Azhar Kairo Mesir menginisiasi Kongres Internasional Muslim sedunia untuk mewujudkan kembali khilafah.
“Awalnya kongres ini akan digelar pada bulan Maret 1925 dengan mengundang seluruh perwakilan umat Islam dari berbagai belahan dunia. Undangan ini mendapat sambutan antusias dari tokoh-tokoh Islam di Nusantara. Mereka segera mengadakan pertemuan khusus di Madrasah Tarbiyatul Aitam Genteng Surabaya 4 – 5 Oktober 1924,” jelasnya.
Surat kabar bendera Islam, lanjut narator, mencatat pernyataan dua tokoh besar umat Islam yakni Haji Oemar Said Cokroaminoto dan Haji Fachrudin. Mengenai Haji Oemar Said Tjokroaminoto tercatat beliau mengatakan, “Belum pernah kejadian di dalam riwayat yang mengadakan satu kongres Islam sedunia, hanya baru satu kali ini. Oleh karena hal ini menjadi kewajiban umat Islam, maka utusan perlu sangat dikirim ke Kairo”. Sementara H Fachrudin mengatakan, “Utusan kita di sana bisa mengenalkan dirinya sebagai umat Islam di lain-lain negeri terutama untuk mempersatukan pikiran, mengadakan khalifah”.
Selanjutnya, kata Niko, berkat dorongan dari sosok Cokroaminoto, juga tokoh karismatik dari Muhammadiyah H Fachrudin maka pertemuan ini kemudian berhasil merumuskan mufakat bahwasanya dari Indonesia akan terlibat dalam segala usaha untuk mengembalikan tegaknya Khilafah.
“Dari Indonesia juga akan mengirimkan utusan-utusan yang akan menjadi wakil mereka Pada kongres Kairo 1925. Termasuk juga yang kemudian memunculkan apa yang kita sebut sebagai Sentral Komite Khilafat atau kita menyebutnya sebagai Komite Khilafah,” tegas Niko.
Menurut Niko, ini adalah satu momentum yang sangat luar biasa dalam sejarah Indonesia yakni umat Islam di Indonesia tidak hanya tertarik dengan khilafah tapi juga mereka merasa memiliki rasa tanggung jawab untuk bisa menyelesaikan masalah khilafah ini. “Buktinya apa? Buktinya adalah kemudian mereka mendirikan Komite Khilafah di Surabaya,” tegasnya.
“Lalu Komite Khilafah ini kemudian tidak hanya ada di Surabaya. Atas kegigihan tokoh-tokoh Islam dan para ulama ketika itu maka berdirilah cabang-cabang komete khilafah di berbagai penjuru nusantara. Tidak hanya ada dijawi, ternyata juga sampai ke Banjarmasin sampai ke Ambon . untuk dijawa sendiri nanti akan berdiri comite khilafah komite khilafah di berbagai daerah di Tatar Sunda. ada di Batavia ada di Ujung Kulon ada di Cianjur ada di Jampang Kulon dan lain sebagainya,” beber Niko.
Ini, lanjut Niko, adalah satu momentum yang sangat luar biasa. Dalam sejarah Indonesia di mana umat Islam di Indonesia tidak hanya tertarik dengan Khilafah tapi juga mereka merasa memiliki, rasa tanggung jawab untuk bisa menyelesaikan masalah khilafah ini. Buktinya adalah mereka mendirikan Komite Khilafah di Surabaya.
“Lalu Komite Khilafah ini tidak hanya ada di Surabaya. Atas kegigihan tokoh-tokoh Islam dan para ulama ketika itu maka berdirilah cabang-cabang komete khilafah di berbagai penjuru nusantara. Tidak hanya ada di Jawa, ternyata juga sampai ke Banjarmasin sampai ke Ambon . Untuk di Jawa sendiri nanti akan berdiri Komite khilafah di berbagai daerah di Tatar Sunda. Ada di Batavia, ada di Cianjur ada di Jampang Kulon dan lain sebagainya,” jelas Niko.
“Untuk memutuskan Siapa yang akan diberangkatkan ke Mesir, lanjut Narator, kongres al-Islam menghasilkan komite baru bernama Central Komite Khilafat yang diketuai Wondo Sudirjo dan Kyai Haji Abdul Wahab Hasbulloh. Komite ini bertujuan menetapkan mandat yang akan dibawa delegasi Indonesia saat pergi ke Mesir. Selain itu komite Khilafah juga membentuk subkomite Khilafah di banyak daerah di Nusantara dengan menghimpun umat Islam dari berbagai mazhab dan gerakan,” beber Niko.
“Selanjutnya komite ini menginisiasi kongres al-Islam tiga atau kongres al-Islam luar biasa di gedung SKober Surabaya pada 24-27 Desember 1924. Undangan kongres ini mendapat sambutan luar biasa dari umat Islam, termasuk dari umat Islam di Tatar Sunda,” jelas Narator.
“Hingga ketika tiba waktunya kongres al-Islam tiga dihadiri oleh perwakilan dari 68 organisasi Islam yg tersebar di Nusantara. Beberapa organisasi besar yang turut serta dalam pertemuan tersebut adalah Sarekat Islam, Perserikatan Muhammadiyah, al- Irsyad serta sub komite Khilafah dari berbagai wilayah Nusantara,” kata narator.
“Komite akhirnya mengutus tiga tokoh yang menjadi representasi umat Islam.Mereka adalah Suryopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachrudin dari Muhammadiyah dan Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah dari Perserikatan takmirul masajid,” imbuhnya.
Selanjutnya dinarasikan, karena terjadi perubahan peta politik di Hijaz, konggres di Mesir batal dilaksanakan. Konggres al-Islam yang digagas Ibnu Saud 1926 pun tak sungguh-sungguh diupayakan. Tidak ada tanda-tanda Ibnu Saud akan menginisiasi kembali persatuan umat Islam di bawah naungan khilafah.
“Khilafah tak lagi jadi pembahasan. Kendati demikian Islam tetaplah menjadi spirit perjuangan melawan penjajah. Dakwah yang bersifat pemikiran dan politik juga terus bergelora mengusir penjajah” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
View Comments (1)
terima kasih admin, artikelnya sangat mencerahkan, menambah tsaqofah baru. terus berkarya buat admin dan team