Mediaumat.id – Kesultanan Aceh di kawasan Nusantara tidak bisa lepas dari peran Khilafah Utsmaniah.
“Bersinarnya dominasi militer Kesultanan Aceh di kawasan, tidak bisa dilepaskan dari pendidikan jihad dan teknologi pendukungnya yang diberikan Khilafah Utsmaniah kepada rakyat Aceh,” tutur narator Akhmad Adiasta dalam film dokumenter sejarah Islam Jejak Khilafah di Nusantara 2 (JKDN 2) yang tayang perdana pada Rabu (20/10/2021) secara daring.
Menurutnya, semenjak menjadi bagian dari Khilafah Utsmaniah di masa Khalifah Selim II bin Sulayman al-Qanuni, Kesultanan Aceh berkembang menjadi kekuatan Islam yang sangat diperhitungkan di Asia Tenggara.
“Ditakuti lawan dan disegani kawan. Negara-negara di Eropa di abad ke-16 dan ke-17 seperti Inggris, Prancis, Spanyol, dan Denmark tidak berani berbuat macam-macam di Nanggroe. Ada pun Portugis yang masih menguasai Malaka, selalu dibuat cemas dengan keadaannya yang terkepung oleh dominasi Aceh di Sumatera dan Semenanjung Melayu,” ujarnya.
Gampong Bitay
Ketua Majelis Adat Aceh Prof. Farid Wajdi, M.A. mengungkap, di Banda Aceh ada namanya Gampong Bitay. “Bitay itu dulu kepada orang asing disebut Beta, kemudian berubah Bitay namanya. Di situ ada namanya Baitul Maqdis, ada sebut Baital Maqdis. Itu nama institusi lembaga Akmilnya, Akademi Militer di Banda Aceh. Di mana-mana ada kan (akademi militer) itu di sebuah negara, tapi yang luar biasanya, instrukturnya 100 orang yang saya lihat dalam catatan itu dari Turki,” bebernya.
Menurut Akhmad, pendidikan agama dan militer yang diberikan Khilafah Utsmani di Gampong Bitay terbuka untuk kaum Muslim dan Muslimah. “Tunas-tunas unggul, digembleng oleh tenaga-tenaga yang unggul, yang dikirim dari negara terunggul pimpinan Sang Khalifah,” tandasnya.
Laksamana Malahayati
Akhmad menuturkan, hasil dari didikan tenaga-tenaga unggul kiriman Sang Khalifah memunculkan pahlawan dari kalangan mujahidah. “Tidak mengherankan, jika kemudian dari Akademi Militer Baytul Maqdis di Gampong Bitay muncul pahlawan mujahidah yang harum namanya yakni Laksamana Malahayati, Muslimah tangguh yang menjadi ajudan Sultan Aceh,” ujarnya.
Menurut Farid, Malahayati itu menjadi panglima pasukan angkatan laut yang memimpin 2000 hingga 3000 pasukan perempuan. “Ada yang tulis 2000, ada yang tulis 3000 tetapi semuanya perempuan. Namanya Inong Bale, bahasa Aceh dari inong bale itu janda. Inong Bale itu, bale itu balai. Jadi disebutlah janda itu dia pimpin,” jelasnya.
Sultan Iskandar Muda
Kedigdayaan Armada Kesultanan Aceh, menurut Akhmad, melibatkan semua elemen rakyat, mulai dari ulama, orang kaya, pedagang, sampai kaum Muslimah. “(Kekuatan ini) telah membawa Aceh menjadi negara yang maju. Mulai dari dunia militer, ekonomi, politik, sampai semesta kelimuan dan budaya. Semua aspek tersebut ada di bawah payung syariat Islam, yang mencapai puncak kegemilangannya di era Sultan Iskandar Muda,” ungkapnya.
Direktur Pedir Museum Masykur Syafruddin mengungkap, tokoh sentral atau tokoh utama dalam Pemerintahan Aceh Darussalam pada abad ke-17 adalah Sultan Iskandar Muda, atau pun Sri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat. Anak dari Sultan Ali Ri’ayat Syah, atau pun cucu dari Sultan ‘Ala’uddin Sayyid al-Mukammil.
“Dialah Sri Sultan Perkasa Alam Johan Berdaulat, yang kuasanya bertakhtakan ratna mutu manikam. Raja Islam yang beroleh martabat, memerintahkan hukum dan adat di negeri Aceh Darussalam,” ujar Akhmad.
Bagi warga Aceh, menurut Farid, Islam itu sudah mendarah daging dan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh. “Saya tidak tahu bagaimana memisahkan daging. Mana sistem pemerintah, mana adat. Nah, itu kan sudah menyatu sendiri. Sehingga itu sudah jadi bagian dari sistem pemerintahan. Kita sebut begitu,” bebernya.
Menurut Akhmad, kuatnya Sultan Iskandar Muda dalam berpegang teguh kepada syariat Islam, sampai-sampai Sultan Iskandar Muda tak segan untuk menghukum segala pelaku penyelewengan hukum Allah dan Rasul-Nya. “Bahkan tatkala anaknya sendiri yang bernama Meurah Pupok melanggar syariat, ayahnya sendirilah yang menjatuhkan hukuman,” ujarnya.
“Sebagai orang Islam Iskandar Muda bilang, anak-anak Nabi, dikatakan, ‘Kalau anakku Fatimah mencuri aku yang potong tangan’,” tambah Farid.
Lebih lanjut, Farid berkata, Sultan Iskandar Muda ingin mengikuti syariat Nabi tersebut, sehingga Sultan Iskandar Muda menghukum anaknya sendiri.
“Apa yang kurang anakku? Kamu semua dapat, kenapa kamu lakukan itu?” tutur Farid menirukan ucapan Sultan Iskandar Muda kepada anaknya.
“Akhirnya, dia bunuh. Dia melaksanakan sendiri hukumannya. Coba bayangkan kalau bukan karena Islam? (Jika) bukan Islam, itu tidak ada. Tidak ada di dunia itu!” pungkas Farid.[] Achmad Mu’it