Media-umat.info – Pelarangan jilbab dan pelarangan pengamalan ajaran Islam lainnya yang dilakukan rezim Tajikistan kepada Muslimah dan Muslim di negaranya, dinilai sebagai bentuk penistaan dan pelecehan ajaran Islam.
“Isu Muslim Tajikistan ini harus dipahami sebagai pelecehan dan penistaan terhadap ajaran Islam dan umat Islam sedunia, sehingga seharusnya seluruh Muslim di dunia harus bertindak dalam merespons ini semua,” kata Pengamat Hubungan Internasional Hasbi Aswar kepada media-umat.info, Rabu (26/6/2024).
Menurutnya, selain warga Tajikistan sendiri, umat Islam seluruh dunia khususnya para pemimpin Muslim harus memberikan tekanan kuat pada Tajikistan untuk bisa memberikan kebebasan kepada warganya dalam beribadah dan menjadi Muslim yang baik.
“Tekanan ini bisa dalam bentuk kecaman atau bahkan sanksi-sanksi baik ekonomi maupun politik sampai umat Islam dapat menjalankan Islam secara bebas,” ungkapnya.
Hasbi mengatakan, warga Tajikistan sudah berupaya melakukan perlawanan terhadap pemerintahnya sejak dahulu. Hanya saja kelompok-kelompok dan aktivis-aktivis Islam yang berseberangan dengan pemerintah sudah ditangkapi dan dilarang oleh pemerintah.
“Bahkan saking takutnya pemerintah terhadap potensi perlawanan, anak-anak muda Muslim pun dibatasi untuk belajar Islam secara intensif.
“Bagi para imam atau ustadz yang mengisi kajian bisa ditangkapi dengan tuduhan mengajarkan ekstremisme dan radikalisme,” ujarnya.
Rezim Anti-Islam
Kebijakan pelarangan jilbab yang diterbitkan pemerintah Tajikistan baru-baru ini mengejutkan banyak pihak karena diberlakukan terhadap populasi yang 96 persennya beragama Islam. Kendati demikian, hal ini merupakan cerminan dari garis politik dan kebijakan anti-Islam yang dijalankan pemerintah sejak 1997.
Pada 2009, rezim presiden seumur hidup Emomali Rahmon mendorong sejumlah peraturan formal dan informal yang dimaksudkan untuk mencegah negara-negara tetangga memberikan pengaruh Islam.
Undang-Undang Tanggung Jawab Orang Tua, yang mulai berlaku pada 2011, memberikan sanksi kepada orang tua yang menyekolahkan anaknya ke pendidikan agama di luar negeri, sedangkan menurut undang-undang yang sama, anak di bawah 18 tahun dilarang memasuki tempat ibadah tanpa izin.
Lembaga pemantau kebebasan beragama yang berbasis di Oslo, Forum 18, mencatat bahwa semua madrasah alias sekolah agama Islam mulai ditutup paksa sejak Juli 2013 setelah pidato Presiden Rahmon yang menyatakan, tanpa memberikan bukti, bahwa beberapa mantan murid madrasah telah menjadi “teroris”.
Pada Maret 2015, polisi mulai mencukur paksa pria Muslim berjanggut di seluruh negeri.
Rezim Rahmon juga melarang pelaksanaan banyak ritual dan upacara Islam. Sejak 2017, Undang-Undang Adat memperkenalkan sejumlah pembatasan baru terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan serta hak asasi manusia yang saling terkait, termasuk: pelarangan jamuan makan untuk menghormati jamaah yang kembali dari haji; mengharuskan setiap orang untuk menghormati “pakaian nasional”; melarang perayaan secara adat pada hari ke-3, ke-7, dan ke-40 setelah pemakaman; membuat Komite Negara untuk Urusan Agama dan Peraturan Tradisi, Upacara dan Ritual (SCRA) bertanggung jawab untuk menentukan prosedur apa yang harus diikuti untuk pemakaman dan masa berkabung berikutnya; dan menjadikan pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan seluruh ibadah haji dan umrah ke Makkah.
Anak-anak di bawah usia 18 tahun juga dilarang ke masjid serta menjalani pendidikan keagamaan. Kitab Undang-undang Hukum Administratif Pasal 474-3 melarang “Pelaksanaan kegiatan pendidikan dan dakwah oleh umat beragama di lembaga pendidikan prasekolah, sekolah menengah, kejuruan dasar, kejuruan menengah, dan pendidikan kejuruan tinggi, serta di bangunan tempat tinggal atau rumah warga” dengan denda yang berat. Hukuman ditingkatkan pada Desember 2021.
“Data-data menunjukkan bahwa tingkat religiusitas warga Tajikistan sangat tinggi dan itu terlihat jelas setelah tahun 90-an pasca keruntuhan rezim komunis Sovyet. Peningkatan semangat keislaman bisa terlihat dari ghirah masyarakat untuk beribadah di masjid, berpakaian islami baik laki-laki maupun perempuan, termasuk juga semangat untuk menyekolahkan anak-anak Tajikistan di sekolah-sekolah Islam baik di dalam maupun luar negeri,” tutur Hasbi.
Di sisi yang lain, lanjut Hasbi, dari banyak fenomena yang terjadi di banyak negara biasanya para pemimpin mengangkat isu identitas untuk menjaga legitimasi mereka di hadapan masyarakat agar kekuasaan mereka tetap langgeng. Presiden Tajikistan Presiden Emomali Rahmon, telah berkuasa secara otoriter sejak tahun 1992 sampai sekarang. Selain otoriter, negara ini juga korup dan miskin.
“Mungkin saja, kebijakan yang berlebihan terhadap Islam di Tajikistan juga adalah strategi pemerintah untuk menakut-nakuti masyarakat agar tidak mengancam kepentingan rezim serta politik pengalihan masyarakat agar menganggap masalah radikalisme sebagai problem utama alih-alih masalah struktural yang terjadi seperti kemiskinan, dan kekuasaan yang korup,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it