Jika Ulama Diam, Lalu Sampai Kapan Kebenaran Itu Akan Tampak? (Catatan Di Tengah Wacana Pemerintah Terkait Sertifikasi Ulama’)
Oleh: Fajar Kurniawan (analis senior PKAD)
Rencana pemerintah terkait kebijakan sertifikasi ulama banyak menuai kritikan tajam dari umat Islam. Wacana ini dianggap ngawur, dan bertentangan dengan karakteristik ulama. Karena ulama adalah orang berilmu dan dengan keilmuannya, mereka menjadi orang yang paling takut kepada Allah SWT.
Sertifikasi, jika benar-benar jujur dan obyektif, hanya bisa mengukur keilmuan seseorang secara kuantitatif, tetapi tidak bisa secara kualitatif. Belum lagi, jika bicara tentang ketakwaan seorang ulama, sangat sulit diukur dengan ukuran kuantitatif. Terlebih, apa kepentingannya sebuah lembaga mengeluarkan sertifikat untuk memberikan pengakuan terhadap ketakwaan seseorang?
Jadi, ide ini berpotensi memasung pemikiran, gerak-gerik dan kiprah ulama. Jika kebijakan ini dilakukan, maka tindakan ini bukan hanya mengerdilkan ulama, tetapi juga merendahkan ulama. Karena, pada dasarnya, matinya ulama bukan karena secara fisik mereka tiada, tetapi ketika mereka berdiam diri terhadap kemunkaran.
Sebagai pewaris Nabi, mereka tidak hanya mewarisi ilmu, tetapi juga amanah risalah. Dengan ilmu yang dimilikinya, mereka berkewajiban untuk menyampaikan kebenaran, menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran.
Karena itu, Imam Ahmad mengatakan, “Idza ajaba al- ‘alimu taqiyyatan, wa al-jahilu yajhal, mata yatabayyanu al-haq?” (Jika seorang ulama menjawab pertanyaan [orang awam] dengan taqiyyah [menyembunyikan kebenaran], kemudian orang yang bodoh tetap dengan ketidaktahuannya, lalu sampai kapan kebenaran itu akan tampak?)”
Hanya saja, amanah tersebut membutuhkan keikhlasan dan keberanian, yang hanya bisa dilaksanakan oleh seseorang yang tidak hanya berilmu, tetapi orang yang hanya takut kepada Allah, meski harus menentang arus.
Dalam bahasa hadits, “La yakhafu fi-Llahi laumata la’im (Dia tidak takut terhadap cacian pemaki, semata karena Allah).” Atau dalam bahasa Alquran, “Innama yakhsa-Llah min ‘ibadihi al-ulama’.” Hanya ulama’ seperti inilah yang mampu menunaikan amanah ilmu, dan menjadi pewaris Nabi yang sebenar-benarnya.
Dengan keilmuan dan ketakwaannya itu, mereka telah tercatat dalam sejarah kehidupan umat Islam yang mulia ini, sebagai para hakim, khalifah, wazir, wali, panglima perang, prajurit biasa, politisi hingga rakyat jelata.[]