Jika Pemerintah Islamofobia, Apa Bedanya dengan Penjajah?

Mediaumat.id – Pembina Mutiara Umat Institute (MUM) Puspita Satyawati menilai bila pemerintah menderita islamofobia maka apa bedanya dengan penjajah.

“Jika yang terjadi adalah pemerintah menderita islamofobia, maka dapat kita tanyakan apa bedanya dengan penjajah?” tuturnya dalam Kritik #6: Jilbab Disayang Jilbab Dilarang, Siapa Meradang? di kanal YouTube TintaSiyasi Channel, Kamis (17/11/2022).

Menurutnya, ketika terjadi indikasi radikalisme dan ekstremisme yang dinilai pemerintah berbahaya, lebih baik pemerintah melakukan dialog dengan para pihak terkait. “Bukan menggebuk tetapi memeluk,” ujarnya.

Ia mengimbau, pemerintah harus berusaha untuk meminimalisir potensi adu domba yang berbasis islamofobia. “Karena baik secara vertikal maupun secara horisontal hanya akan menguntungkan penjajah dan sekaligus merugikan interaksi antara pemerintah dengan warga negara, maupun sesama warga negara,” paparnya.

Puspita menyebut, pemerintah memahami keberadaan umat Islam sebagai mayoritas penduduk di negeri ini yang memiliki kewajiban sekaligus hak menunaikan perintah agamanya. “Semestinya, hal ini bisa diakomodir dan difasilitasi melalui kebijakan negara. Termasuk penunaian kewajiban berhijab, termasuk di sekolah-sekolah,” terang dia.

Pemerintah juga, lanjutnya, harus menghormati umat Islam sebagaimana pemeluk agama lainnya, dalam menjalankan ajarannya tanpa takut secara berlebihan akan merongrong kekuasaan pemerintah (negara).

Ia menyarankan, pemerintah harus mampu menjamin sekolah-sekolah yang di bawah pemerintah daerah yang mewajibkan, muridnya memakai seragam dan atribut dengan kekhususan tidak akan dibubarkan.

“Pun guru dan kepala sekolahnya tidak dikenai sanksi. Hindari penyebutan sekolah itu, sebagai sekolah radikal dan warganya distempel ekstremis,” jelasnya.

Jika upaya-upaya di atas tidak terjadi, ia mengandaikan, akan memungkinkan terbentuknya situasi kontradiktif, dengan status Indonesia sebagai religious nation state serta tujuan pendidikan nasional dalam menciptakan, peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

“Namun, selama pelaksanaan sistem pemerintahan masih terbingkai dengan demokrasi, akankah upaya di atas bisa dilakukan?” tanyanya.

Ia mengungkap, demokrasi sekularistik akan menolak upaya pengintegrasian ajaran agama Islam dalam berbagai bidang kehidupan. “Karena itu tak sesuai dengan misinya menjauhkan manusia dari pengalaman nilai-nilai Tuhannya,” terang dia.

Oleh karena itu, ia menambahkan, upaya menerapkan ajaran Islam mesti disertai dengan perubahan sistem kehidupan secara mendasar. “Tentunya, hanya sistem Islam yang rela seluruh aspek hidup terwarnai dengan ajaran Allah SWT,” pungkasnya.[] Mariyam Sundari

Share artikel ini: