Oleh: dr. M. Amin – Direktur Poverty Care
Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia menciptakan suasana pemiskinan sistematis. Sementara pemerintah menitikberatkan pengentasan kemiskinan pada aspek pertumbuhan ekonomi. Memang untuk mengentaskan kemiskinan salah satu pra syaratnya adalah mengurangi pengangguran dan menyerap angkatan kerja baru dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Hanya saja apakah mungkin penyediaan lapangan kerja dapat dilakukan dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi? Atau apakah ada korelasi langsung pengurangan kemiskinan yang disertai distribusi kekayaan dengan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi? Dengan kata lain dapatkah pertumbuhan ekonomi sebagai problem solving untuk perekonomian?
Sementara ketidakmampuan metode pertumbuhan ekonomi sebagai problem solving disebabkan kesalahan konsep ini dalam memandang kemiskinan yang harus dipecahkan, yakni kemiskinan yang menimpa negara bukan kemiskinan yang menimpa individu. Juga konsep ini menitikberatkan perhatiannya pada aspek produksi barang dan jasa bukan pada aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Padahal kemiskinan yang harus dipecahkan adalah kemiskinan yang menimpa individu sehingga yang harus dilakukan adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokoknya serta mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya, dan jalan untuk mencapainya adalah dengan menciptakan distribusi ekonomi yang adil di tengah-tengah masyarakat.
Memang benar, kita harus membangun kepedulian sosial di tengah-tengah masyarakat dengan ukhuwah Islamiyah, juga kemiskinan harus dituntaskan melalui kebijakan ekonomi pemerintah, di sinilah peranan negara tidak akan pernah dilepaskan. Tanpa peranan negara mustahil kemiskinan bisa dihapus.
Pada umumnya kemiskinan yang menimpa masyarakat disebabkan oleh kekeliruan sistem, dalam hal ini peranan negara. Selama Orde Baru, kebijakan ekonomi pemerintah bertumpu pada pertumbuhan ekonomi bukan pada distribusi ekonomi. Sehingga meskipun berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah gagal mengurangi kesenjangan apalagi menciptakan distribusi ekonomi yang adil.
Pada masa reformasi sekarang, kebijakan ekonomi pemerintah semakin jauh keberpihakannya pada rakyat. Berbagai subisdi yang sangat dibutuhkan rakyat satu persatu mulai dikurangi dan dicabut. Sementara aset-aset negara yang produktif dan menguasai hajat hidup orang banyak, seperti PT Indosat dan PT Semen Gresik dijual kepada asing. Berbagai produk perundang-undangan juga sangat menguntungkan investor asing dan cenderung merugikan rakyat kecil.
Memang kondisi Indonesia sekarang semakin kacau. Korupsi semakin menggurita dan terang-terangan, sementara penegakan hukum semakin jauh dari harapan. Di sisi lain para pejabat pemerintah dan elit politik lainnya saling sikut dan sibuk memikirkan kedudukan politiknya daripada memperhatikan secara serius bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat. Keadaan tersebut menggambarkan para pemimpin kita tidak amanah dan tidak mampu mewujudkan sistem yang menjamin kesejahteraan masyarakat.
Dalam paradigma Islam, pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Nabi SAW bersabda: “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sehingga menjadi pemimpin dan penguasa bukanlah untuk bersenang-senang ataupun untuk tujuan-tujuan yang tidak berfaedah menurut agama.
Sungguh ironi jika setiap seorang pemimpin terpilih sebagai bupati, walikota, gubernur, presiden, ketua DPR dan MPR, mereka beserta para pendukungnya bersuka cita dan mengucapkan selamat. Padahal terpilihnya seseorang sebagai pemimpin adalah suatu pertaruhan antara neraka dan surga, apalagi lembaga yang akan mereka pimpin tidak menegakkan syariat Islam. Mereka akan memikul amanah yang sangat berat, apakah mereka mengangkat rakyatnya pada derajat yang lebih tinggi ataukah berbuat zalim terhadap rakyat.
Berdasarkan hadits Nabi SAW tersebut, seharusnya fungsi pemerintahan adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ini berarti dalam bidang ekonomi pemerintah harus mengupayakan kesejahteraan bagi setiap rakyatnya melalui pengaturan distribusi kekayaan yang adil dengan berlandaskan pada hukum syara’.
Pertama, pemerintah harus melakukan kebijakan untuk menjamin setiap anggota masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti pakaian, makanan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan jaminan keamanan. Pakaian, makanan dan perumahan diberikan secara langsung kepada orang-orang fakir dan miskin. Sedangkan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan jaminan keamanan diberikan secara gratis oleh negara kepada setiap anggota masyarakat. Kebijakan ini langsung diarahkan kepada setiap individu tujuannya untuk memecahkan masalah kemiskinan yang menimpa individu.
Dengan memberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan, maka pada dasarnya setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk meningkatkan kecerdasan dan skill yang sangat dibutuhkan untuk bekerja mencari nafkah, dan sebagai tenaga ahli dalam berbagai proyek pembangunan dan industri negara.
Kedua, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mendorong perekonomian mereka. Pemerintah melalui kebijakan ekonomi harus memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat dalam hal permodalan, sumber daya dan pemasaran.
Ketiga, pemerintah harus tegas dan tanpa kompromi dalam menegakkan hukum, sehingga kewenangan pejabat negara tidak disalahgunakan. Ketegasan ini harus dilandasi oleh keteladanan sang pemimpin, agar para pejabat dan staf di bawahnya serta anggota masyarakat mengikuti jejak dia. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi SAW dalam sabdanya: “Sekiranya Fathimah putri Rasulullah mencuri, pasti kupotong tangannya.”Demikianlah ajaran Islam menyikapi kemiskinan ditinjau dari aspek kepedulian sosial, pemanfaatan kepemilikan dan peranan negara.[]