JHT Baru Bisa Cair di Usia 56, FAKKTA: Ini Kebijakan Zalim!

Mediaumat.id – Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 mengenai pencairan jaminan hari tua (JHT) yang baru bisa dilakukan saat usia 56 tahun dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak sebagai kebijakan zalim.

“Kebijakan ini tentu saja zalim. Pasalnya, dana tersebut merupakan murni dana kontribusi pekerja yang dipotong dari gaji mereka per bulan sebesar 2 persen, dan kontribusi pemberi kerja sebesar 3,7 persen,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (17/2/2022).

Ishak mengatakan, meskipun dana itu idealnya diperuntukkan bagi para pekerja yang telah pensiun di usia 56 tahun, namun pada kenyataannya, banyak pekerja di Indonesia yang berhenti bekerja baik sukarela ataupun di-PHK jauh sebelum berusia 56 tahun.

“Mereka inilah yang paling dirugikan dengan aturan ini. Mereka dilarang untuk mengambil hak mereka oleh negara yang telah memanfaatkan dana mereka,” ungkapnya.

Menurutnya, dana JHT memberikan kontribusi terbesar dari dana investasi BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai Rp553 triliun pada tahun 2021, sebagian besar diinvestasikan pada obligasi pemerintah.

“Bahkan BPJS Ketenagakerjaan merupakan pembeli utama surat berharga negara. Inilah mengapa pemerintah sangat berkepentingan agar kontribusi dana BPJS tersebut semakin besar,” ujarnya.

“Jadi sangat masuk akal bahwa kebijakan untuk menunda masa pencairannya hingga menjadi 56 tahun akan semakin menguntungkan pemerintah,” imbuhnya.

BPJS Haram

Di dalam pandangan Islam, kata Ishak, eksistensi BPJS Ketenagakerjaan merupakan sesuatu yang haram. “Pasalnya, lembaga itu membebankan tugas jaminan pemenuhan kebutuhan pekerja ketika pekerja tidak lagi produktif kepada pekerja dan pemberi kerja melalui pemotongan gaji mereka,” ujarnya.

Menurutnya, yang paling dirugikan adalah pemberi kerja sebab mereka harus membayar biaya masa depan pekerjanya. “Hal ini sama dengan BPJS Kesehatan, yakni rakyat dipaksa membayar iuran untuk pelayanan kesehatan mereka dan rakyat lainnya, yang semestinya menjadi tugas negara,” ujarnya.

“Keharaman berikutnya adalah dana kontribusi pekerja dan pemberi kerja tersebut diinvestasikan pada investasi ribawi, seperti deposito, obligasi, saham, dan reksadana. Adapun investasi langsung jumlahnya sangat kecil hanya sekitar 1 persen,” ungkap Ishak.

Tanggung Jawab Negara

Ishak menjelaskan, di dalam negara Khilafah Islam, seluruh penduduk yang tidak mampu bekerja baik karena tua, anak-anak, dan cacat, dijamin pemenuhan kebutuhan hidupnya oleh negara. “Baik secara tidak langsung dengan mewajibkan ahli warisnya menanggungnya atau jika mereka tidak mampu maka akan ditanggung negara secara langsung,” tuturnya.

Menurutnya, hal ini berbeda dengan konsep sistem kapitalisme. Hanya orang yang pernah bekerja saja yang dijamin, sementara yang tidak pernah bekerja otomatis tidak memiliki JHT, sehingga tidak mendapatkan bantuan negara apalagi jika tidak memiliki ahli waris.

“Karena itu, kita banyak melihat banyak usia lanjut yang semestinya tidak kuat lagi bekerja terpaksa mencari nafkah karena tidak ada yang menopang hidup mereka,” ujarnya.

Alhasil, kata Ishak, konsep BPJS Ketenagakerjaan merupakan konsep kapitalisme yang batil dan menzalimi rakyat. “Oleh karena itu, pihak buruh khususnya dan masyarakat luas perlu menyadari bagaimana indahnya Islam mengatur kehidupan mereka termasuk ketika mereka telah lanjut usia atau pun tidak lagi mampu bekerja,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

 

 

 

Share artikel ini: