Oleh: Adam Syailindra (Forum Aspirasi Rakyat)
Ujian kompleks bagi rakyat di era Jokowi adalah hampir semua kebutuhan pokok mengalami kenaikan yang tak terkendali. Akibat banyak rentetan kenaikan harga tersebut golongan menengah ke bawah yang paling merasakan dampaknya. Pendapatan masyarakat bias habis untuk konsumsi pangan dan transportasi. Bahkan, yang terjadi lebih besar pasak daripada tiang. Kalau ada kenaikan BBM maupun beras, itu pasti akan membuat kehidupan mereka lebih sengsara. Maka ini PR besar yang harus segera diatasi oleh pemerintah.
Namun, penulis mengamati pemerintah senantiasa mengambil kebijakan reaktif bukan strategis. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memecahkan problem kenaikan harga sembako sering berfungsi sebagai ‘pemadam kebakaran’ semata. Bukan pemecahan secara total. Operasi pasar dan penurunan bea masuk impor merupakan hal yang umum digunakan. Namun, tetap saja sesaat. Bagaimana politik pertanian dalam rangka swasembada dan kedaulatan pangan yang ditetapkan pemerintah?
Dalam pertanian, penulis mencermati adanya liberalisasi sektor pertanian. Pemerintah memposisikan diri sebagai regulator yang mengelola arus keluar-masuk barang –barang hasil pertanian, tanpa pernah menjamin ketersediaannya di tingkat pasar. Pemerintah ‘berlepas tangan’ terhadap hal tersebut. Bukan hanya itu saja, akibat liberalisasi pertanian, hanya pihak yang bermodal besar sajalah (baik swasta dalam negeri maupun asing) yang akhirnya menguasai sektor pertanian.
Kondisi yang ada semakin diperparah dengan merajalelanya konversi lahan pertanian subur menjadi daerah industri tanpa memperhatikan tata kelola lahan dan ruang lingkup kawasan. Akhirnya lahan-lahan subur pertanian semakin tahun semakin menyempit dengan kualitas pertanian semakin berkurang dan bisa tercemar oleh limbah industri.
Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah mengalihkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok rakyat ke pundaknya jika orang-orang yang wajib memenuhinya itu tidak mampu. Beliau bersabda: ”Oleh karena itu, jika seorang mukmin meninggal serta meninggalkan warisan, silakan orang-orang yang berhak memperoleh warisan itu mengambilnya. Namun, jika ia meninggal sembari meninggalkan hutang atau keluarganya yang terlantar maka hendaklah mereka datang kepadaku (sebagai kepala negara) sebab aku adalah penanggungjawabnya” (HR. As-Habus Sittah).
Bicara ketahanan pangan, maka harus diiringi kebijakan politik pertanian yang cemerlang, dan ini harus disinergiskan dengan strategi politik industri. Politik industri harusnya ditegakkan untuk menjadikan suatu negara sebagai negara industri. Sedang untuk menjadi negara industri ditempuh satu jalan saja, yakni dengan menciptakan industri alat-alat (industri penghasil mesin) terlebih dahulu. Termasuk peralatan mesin mekanisasi pertanian. Selama berbagai peralatan pertanian kita masih tergantung pada Barat, selamanya pula Barat terus memiliki kesempatan untuk mendikte dan menghegemoni kita.
Realitas menunjukkan harga dapat saja merangkak. Dalam situasi demikian, tidaklah mengherankan rakyat kecil banyak yang menjerit. Karenanya, politik pertanian ini dalam kenyataannya harus dipadukan dengan politik ekonomi. Dalam politik ekonomi Islam, kebutuhan pokok setiap individu dijamin kebutuhannya, sementara untuk kebutuhan sekunder dan tersier pemerintah menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan siapapun memenuhinya sesuai dengan kesanggupan. Artinya, kebutuhan akan pangan (sembilan bahan pokok), sandang dan papan setiap individu-individu masyarakat dijamin mendapatkannya. Ketika mereka secara individual tidak dapat memenuhinya, keluarganya pun tidak dapat menolong, maka pada saat demikian pemerintah harus langsung turun tangan. Tidak boleh ada seorang penduduk pun yang kelaparan dan tinggal di emper jalanan. Bila hal itu terjadi maka yang bertanggung jawab adalah pemerintah.[]