Jejak Penerapan Syariah Islam di Nusantara

Oleh: Anwar Rosadi (Indonesia Change)

Sejarah menunjukkan bahwa Islam memberikan pengaruh terhadap institusi politik di Nusantara. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayang Ullah. Walaupun rajanya sudah masuk Islam, ia belum menerapkan Islam sebagai institusi politik.

Kesultanan Ternate baru menjadi institusi politik Islam setelah Kerajaan Ternate menjadi Kesultanan Ternate dengan Sultan pertamanya Sultan Zainal Abidin pada tahun 1486. Kerajaan lain yang menjadi representasi Islam di Maluku adalah Tidore dan Kerajaan Bacan. Selain itu, berkat dakwah yang dilakukan Kerajaan Bacan, banyak kepala-kepala suku di Papua yang memeluk Islam. Institusi Islam lainnya di Kalimantan adalah Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai. Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam dan Palembang. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: Kesultanan Demak yang dilanjutkan oleh Kesultanan Jipang, lalu dilanjutkan Kesultanan Pajang, kemudian oleh Kesultanan Mataram. Cirebon dan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi Kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Di Nusa Tenggara penerapan Islam dilaksanakan dalam institusi Kesultanan Bima.

Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik. Hal ini tampak dalam bidang peradilan dengan penerapan hukum Islam sebagai hukum negara yang menggantikan hukum adat yang telah dilaksanakan di Aceh (Samudera Pasai) pada abad 17. AC Milner mengatakan bahwa Aceh dan Banten adalah Kerajaan Islam di Nusantara yang paling ketat melaksanakan hukum Islam sebagai hukum negara. Hukuman terhadap pencuri dengan memotong tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri dan seterusnya berturut-turut bagi pencurian senilai 1 gram emas telah dilakukan di Banten pada tahun 1651-1680 M di bawah Sultan Ageng Tirtayasa. Sejarah Banten menyebut syaikh tertinggi dengan sebutan kiai ali atau ki ali yang kemudian disebut dengan kali (qadhi yang dijawakan). Orang yang memegang jabatan ini sekitar tahun 1650 diberi gelar Fakih Najmuddin. Gelar inilah yang dikenal selama dua abad selanjutnya. Qadhi pada permulaan dijabat oleh seorang ulama dari Makkah, tetapi belakangan setelah tahun 1651 qadhi yang diangkat berasal dari keturunan bangsawan Banten. Qadhi di Banten mempunyai peranan yang besar dalam bidang politik, misalnya, penentuan pengganti Maulana Yusuf.

Demikian pula, Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira. Sultan berkata, “Mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari.” Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama Kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dalam sehari semalam dan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan terhadap mereka yang melanggar ketentuan.

Share artikel ini: