Jejak Dakwah Islam di Nusantara
Oleh: Achmad Fathoni (Direktur El Harokah Research Center)
Ulama memiliki peran penting dalam perjuangan menyebarkan dan menegakkan syariah Islam di Nusantara. Namun keberadaan ulama tidak lepas dari dukungan politik pemerintah sebagai institusi pelaksana hukum Islam. Dalam perjuangan menegakkan syariah Islam, para ulama Nusantara tidak bersifat lokal, melainkan tercipta jaringan yang kuat dengan ulama di belahan dunia lain, khususnya di Timur Tengah. Hal ini ini sejalan dengan keberadaan pusat kekuasaan politik Islam di Timur Tengah.
Ketika penjajah berusaha melenyapkan syariah Islam, mereka melakukan rekayasa untuk membendung hasrat para ulama agar tidak menjadi garda terdepan pembela syariah Islam. Untuk menegakkan kembali syariah Islam, dengan sendirinya, para ulama memegang peran sangat penting. Untuk membuktikan peran tersebut, tulisan ini akan mengungkap catatan-catatan sejarah mengenai peran para ulama dalam menegakkan syariah Islam serta hubungan sinergis antara ulama dengan institusi kekuasaan yang menerapkan syariah Islam.
Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari peranan ulama atau pendakwah sebagai utusan langsung dari pusat kekuasaan Islam di Madinah. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674-675 M terdapat utusan orang-orang Ta Shih (Arab) ke Cina. Utusan itu tak lain ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Secara diam-diam Muawiyah meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa, menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa saat itu.
Atas hal demikian, kedatangan utusan pendakwah Islam di Nusantara berlangsung sejak awal kelahiran Islam. Sejarah Dinasti Cina yang berjudul Chiu T’ang Shu meriwayatkan, pada tahun 31 H/651 M terdapat dua orang utusan Ta Shih (Arab) ke istana Dinasti T’ang. Empat tahun kemudian, Istana T’ang juga menerima utusan dari Tan-mi-mo-ni , yang merupakan ungkapan Cina untuk Amir Al-Mukminin. Menurut sumber Cina, utusan itu mengatakan bahwa mereka telah mendirikan Negara Islam, yang sudah berlangsung selama 34 tahun dan sudah memiliki tiga orang khalifah. Cerita ini menggambarkan bahwa Duta Muslim itu pertama kali datang ke Cina pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Sebelum tiba di Cina para pendakwah Islam itu terlebih dulu mampir di Kepulauan Nusantara, atau sebaliknya, dalam perjalanan pulang dari Cina mereka singgah di Nusantara. Hal ini terbukti dari catatan seorang rohaniawan Budha dan pengembara terkenal China, I-Tsing. Pada tahun 51 H/671 M I-Tsing menumpang kapal Arab dari Kanton. Kapal itu ternyata berlabuh di Muara Sungai Bhoga atau Sribuza. Sribuza telah diidentifikasi oleh banyak sarjana modern sebagai Palembang, Ibukota Kerajaan Sriwijaya.
Secara faktual, kapal-kapal yang berlayar dari Timur Tengah ke Asia Timur harus melewati perairan Selat Malaka. Mereka harus singgah di wilayah ini, menunggu arah angin sebelum melanjutkan perjalanan. Karena itu, saat-saat yang ramai bagi persingahan kapal itu ialah bulan Maret dan Desember. Hal ini sejalan dengan catatan seorang penulis kronik Cina, Chou Ch’u-fei, yang mengungkapkan banyaknya utusan Arab ke Negeri Cina dan mereka harus singgah di Sriwijaya. Karenanya, para utusan dakwah tersebut sudah sangat mengenal wilayah Nusantara, termasuk Pulau Jawa. Lebih jelasnya catatan tersebut mengungkapkan:
“Sriwijaya terletak di Nan-Hai (Lautan Selatan). Ia merupakan pusat perdagangan penting di antara berbagai negeri asing. Sebelah Timur terdapat negeri-negeri Jawa, sedangkan di sebelah barat terdapat Ta-Shih (Arabia), Ku-lin (pulau-pulau Selatan umumnya). Tidak ada negeri manapun yang dapat sampai ke Cina tanpa melewati wilayahnya (Sriwijaya).”
Kedatangan para ulama di Cina sebagai utusan dakwah terus berlanjut. Menurut catatan Nakahara, selama masa Kekhilafahan Bani Ummayah, tidak kurang dari 17 rombongan ulama yang sampai di Istana Cina. Selanjutnya pada masa Abasiyyah terdapat 18 rombongan ulama yang sampai di Istana Cina. Banyaknya utusan tersebut akhirnya membentuk komunitas Muslim di Cina, tepatnya di wilayah Kanton. Rombongan para ulama itu juga sudah pasti mengenal Nusantara sejalan dengan persinggahan mereka di perairan Sumatera.
Terbentuknya komunitas Muslim di Cina sejalan dengan terbentuknya komunitas Muslim di Sumatera, khususnya di wilayah Sriwijaya. Hal ini terutama setelah penutupan wilayah Kanton bagi para pendakwah Islam, walaupun akhirnya Kanton dibuka lagi bagi para pendakwah Islam. Komunitas Muslim di wilayah Sriwijaya bukan hanya berasal dari Arab atau Persia, tetapi sebagian ialah penduduk asli Sumatera akibat terjadinya interaksi yang cukup baik dengan para pendakwah dari Timur Tengah. Tokoh-tokoh ulama di wilayah Sriwijaya memegang peranan sangat penting dalam penyebaran Islam. Bahkan banyak di antara mereka yang menjadi duta Muslim Sriwijaya ke Cina. Di samping berdagang, mereka aktif berdakwah. Menurut catatan Al-Ramhurmuzi, yang dibenarkan Chau Ju-Kua, dalam kurun waktu antara 962 sampai 1155 M tidak kurang dari 13 ulama Sumatera yang datang ke Cina sebagai duta dakwah dan pedagang. Bahkan terdapat dugaan kuat bahwa di antara utusan itu terdapat ulama penduduk asli Sumatera.[]