Mediaumat.news – Seorang akademisi menjawab secara telak tudingan Direktur Said Aqil Siraj Institut (SASI) Imdadun Rahmat yang menyebut ‘paham atau ideologi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi salah satu penyebab kualitas pendidikan Indonesia masih jalan di tempat’.
“Pernyataan tersebut merupakan contoh pernyataan yang berbasis pada nalar rendah sekaligus menderita penyakit fobia Islam akut,” ungkap Doktor Kusman Sadik, dosen dan peneliti di bidang matematika dan statistika kepada Mediaumat.news, Sabtu (24/8/2019) di Bogor.
Bualan Imdadun yang menyebut ‘negara rugi karena mahasiswa jurusan kimia ujungnya jadi ustadz’ juga dikritik. “Justru itu menunjukkan bahwa mahasiswa Muslim muncul kesadarannya untuk belajar Islam meskipun bukan di jurusan agama tapi di jurusan kimia. Ini mestinya diapresiasi,” tegas Kusman yang riset doktoralnya di Maryland University Amerika Serikat.
Kusman juga mengatakan yang patut ditangisi adalah jika ada mahasiswa Muslim yang bersikap liberal dan anti syariah sekaligus buta pada ilmu eksakta seperti kimia, fisika, matematika dan lain-lain.
Kusman juga melihat profesor, doktor, pakar dan dosen-dosen yang berprestasi di bidangnya masing-masing malah dipersekusi, dikeluarkan dari kampus, hanya karena sadar Islam. Salah satunya seperti yang dialami Prof. Dr. Suteki yang dinonaktifkan dari berbagai jabatan karena hadir sebagai saksi ahli yang menegaskan ‘khilafah tidak bertentangan dengan Pancasila’.
“Ini semua kambing hitam, upaya pemerintah menutupi kegagalannya membangun dunia pendidikan yang berprestasi, kemudian mengalihkan persoalan ke isu radikalisme,” ungkapnya.
Ia juga mengungkapkan alasan mengapa para akademisi turut berjuang menerapkan syariah Islam yang kaffah.
“Bahwa negeri ini hanya akan baik dengan Islam itulah yang membuat para akademisi dan ilmuwan bersama-sama berjuang untuk menegakkan syariah dan khilafah dan banyak di antara mereka yang tetap menjadi akademisi dan intelektual di kampusnya secara profesional, dan itu sebagai bagian dari dedikasi mereka untuk kebaikan negeri ini,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo