Jawab Syubhat Hadits Khilafah 30 Tahun, Kiai Shiddiq Sampaikan Konsep Mujmal dan Mubayyan

 Jawab Syubhat Hadits Khilafah 30 Tahun, Kiai Shiddiq Sampaikan Konsep Mujmal dan Mubayyan

Mediaumat.id – Menjawab syubhat (keragu-raguan) atas hadits tentang khilafah yang berlangsung hanya tiga puluh tahun, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyampaikan konsep mujmal dan mubayyan.

“Kalau kita mempelajari ilmu ushul fiqih, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana reasoning atau penyimpulan hukum dari Al-Qur’an, dari Hadits Nabi, itu ada satu konsep yang disebut dengan mujmal dan mubayyan,” ujarnya dalam Kajian Dhuha Eps #9: Benarkah Khilafah Hanya 30 Tahun? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Selasa (12/4/2022).

Mengutip dari kitab Al-Syakhsiyah al-Islamiyyah, Juz III/266, karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Kiai Shiddiq menerangkan, mujmal dimaksud berarti kata atau frasa yang maknanya belum jelas sehingga masih memerlukan penjelasan atau mubayyan. Baik oleh Allah SWT atau dari deskripsi sunnah Rasulullah SAW.

Sebelumnya, sebagaimana hadits ‘khilafah berlangsung tiga puluh tahun’, sebagian orang yang berpendapat, kekuasaan di tengah kaum Muslim setelah Khulafaur Rasyidin berikut enam bulan pemerintahan Al-Hasan, bukanlah kekhilafahan Islam.

Sehingga dengan kata lain, ketika disebut tiga puluh tahun, implikasi logisnya, klaim khilafah runtuh tahun 1924 menjadi tidak benar. Karena khilafah dianggap sudah berakhir setelah Khulafaur Rasyidin.

“(Pun) bisa jadi implikasi logisnya, orang menganggap, berarti (khilafah) tidak layak dijadikan model pemerintahan. Karena umurnya sangat singkat. Hanya tiga puluh tahun, berarti itu tidak wajib lagi kita mengikutinya,” sambungnya.

Meski hadits tersebut benar adanya, kata Kiai Shiddiq, yang dimaksud sebenarnya adalah khilafah yang mengikuti metode kenabian (‘ala minhaj an-nubuwwah),” sebagaimana keterangan sebuah hadits Nabi SAW, dengan redaksi,

‘Khilafah di tengah-tengah umatku berlangsung tiga puluh tahun kemudian (menjadi khilafah seperti) kerajaan setelah itu’ (HR Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, no. 2326; Ahmad, Al-Musnad, Juz V, hlm. 313; An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i al-Kubra, no. 8155)

Namun demikian, perlu dilihat juga, lanjut Kiai Shiddiq, hadits tersebut hanya menunjukkan akan adanya khilafah di tengah-tengah umat Islam yang berlangsung tiga puluh tahun, tetapi tanpa menjelaskan sifat khilafah seperti apa.

Maka, di sinilah ia memandang pentingnya konsep mujmal dan mubayyan tentang hadits tersebut.

Benar saja, lanjutnya, memang ada redaksi hadits lain yang justru menjelaskan sifat khilafah yang berlangsung tiga puluh tahun era Khulafaur Rasyidin yang mengikuti metode kenabian.

Sedikit Beda

Ia menuturkan, redaksinya memang sedikit berbeda, tetapi menurutnya bisa menjadi penjelasan dari hadits pertama.

“Rasulullah SAW mengatakan, ‘Khilafah yang mengikuti kenabian berlangsung 30 tahun, kemudian Allah memberikan kekuasaan itu atau kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki'” (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4646).

Dengan demikian, jelaslah di hadits kedua itu menegaskan, khilafah yang dimaksud bukan secara mutlak tanpa embel-embel sifat atau predikat. Tetapi tiga puluh tahun dimaksud adalah khilafah dengan berpredikat atau sifat yang mengikuti kenabian.

“Nabi menyebut dengan istilah khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, khilafah yang mengikuti jalan kenabian,” tandasnya yang sedikit menyimpulkan ulang, bahwa khilafah di hadits kedua memiliki sifat atau predikat tertentu, yaitu khilafah yang mengikuti jalan kenabian.

Maka itu, hadits sebelumnya, yang pertama, dalam ilmu ushul fiqih, menurut Kiai Shiddiq disebut dengan hadits yang mujmal, yaitu hadits yang belum jelas maksudnya. “Kata ‘al-khilafah’ yang tiga puluh tahun itu belum jelas maksudnya khilafah yang seperti apa,” urainya.

Maka itu ada beberapa penjelasan dari para ulama. Di antaranya, Imam Al Baghawi dalam kitab beliau, Syarah as-Sunnah Juz XIV, hlm. 75, yang menjelaskan:

Sabda Rasulullah SAW, ‘Khilafah itu tiga puluh tahun’ maksudnya adalah Khilafah yang sebenar-benarnya khilafah. Yaitu khilafah yang dijalankan orang-orang yang perbuatan mereka memang sesuai sesuai dengan istilahnya (khilafah), dan yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah SAW setelah beliau.

Makin jelas, kata Kiai Shiddiq, ketika dipertegas dengan Syarah Sahih Muslim, kitab yang ditulis oleh Syekh Hasan Abu al-Asybal yang mensyarah dengan ringkas Hadits ‘khilafah tiga puluh tahun’. “Yang dimaksud dalam hadits bahwa ‘khilafah itu tiga puluh tahun’ adalah khilafah nubuwwah,” (Hasan Abu al-Asybal, Syarah Sahih Muslim, Juz XVII, hlm.12).

Menurut Kiai Shiddiq, penegasan serupa juga disampaikan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitab Al-Syakhsiyah al-Islamiyyah, Juz 3/266. “Sedangkan hadits yang kedua ini, merupakan hadits yang mubayyan (mufassar), yaitu sudah jelas maksudnya, bahwa khilafah yang tiga puluh tahun itu bukan khilafah secara mutlak, melainkan khilafah nubuwwah, khilafah yang mengikuti jalan kenabian,” kutip Kiai Shiddiq.

Maka, ketika ada kata atau frasa yang mujmal, yang semula mungkin bermakna global, akan menjadi jelas ketika ada mubayyan pada hadits yang lain atau ayat Al-Qur’an yang lain.

“Demikian satu konsep memahami teks-teks Al-Qur’an atau As-Sunnah, namanya mujmal dan mubayyan. Artinya satu ayat bisa ditafsirkan oleh ayat yang lain,” ucapnya.

Kesimpulan

Di sisi lain, Kiai Shiddiq kembali menegaskan, sesungguhnya setelah tiga puluh tahun, sistem pemerintahan Islam selanjutnya tetap disebut sebagai khilafah, bukan kerajaan (al-mulk).

Hal itu, kata Kiai Shiddiq, sebagaimana keterangan Ibnu Taimiyah yang mengutip dari Qadhi Abu Ya’la Al Farra’, penulis kitab Al Ahkamul al-Sulthaniyah:

“Bahwa yang dimaksud khilafah dalam hadits ‘khilafah berlangsung 30 tahun’ adalah khilafah yang tidak terpengaruh dengan sistem kerajaan, sebagaimana khilafah pada masa khalifah-khalifah yang empat. Adapun khilafah di masa Mu’awiyah (setelah 30 tahun) telah terpengaruh dengan sistem kerajaan. Namun hal ini tidaklah membuat cacat Kekhilafahan Mu’awiyah.”

Maknanya, lanjut Kiai Shiddiq, memang ada aspek penyimpangan dengan mengikuti sebagian ciri-ciri sistem kerajaan yaitu adanya pewarisan kekuasaan. Hal ini juga diakui oleh Syekh Hisyam al-Badrani di dalam kitab yang beliau tulis, An-Nizam as-Siyasi Ba’da Hadm Daulah al-Khilafah, hlm. 31.

Kesimpulannya, sambung Kiai Shiddiq, adalah tidak benar bahwa khilafah hanya berlangsung tiga puluh tahun dan setelah itu menjadi kerajaan. “Yang benar adalah yang tiga puluh tahun itu adalah khilafah yang mengikuti metode kenabian atau khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah atau khilafah an nubuwwah,” pungkasnya mencuplik perkataan Ibnu Taimiyah di dalam kitab Majmu’ al-Fatawa, Juz XXVIII, hlm. 18.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *