Janji itu Dikhianati

Sekitar 550 orang  berkumpul di dalam Gedung Merdeka, Bandung pada 10 November 1956. Dalam bangunan klasik dua tingkat berlantaikan marmer mengkilap khas kolonial art deco, Presiden Soekarno melantik wakil rakyat hasil pemilu 1955 sebagai anggota Konstituante (lembaga yang membahas perubahan dasar negara dan undang-undang dasar). Pelantikan tersebut menandakan pula dimulainya sidang.

Dikhianati

Sidang Konstituante adalah sidang yang sangat dinanti para tokoh dan umat Islam, tak terkecuali Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953) Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Sebelumnya,  pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dibentuk Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menandatangani rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar negara RI yang belakangan disebut sebagai Piagam Jakarta. Meski telah disahkan namun menyisakan perdebatan antara kelompok Islam di satu sisi dan kelompok sekuler dan Kristen di sisi lain terkait tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan anggota BPUPKI Soekarno berusaha menengahi dengan gaya kompromistis [baca: mencampurkan yang haq dan bathil]. Dalam rapat BPUPKI 11 Juli 1945, Soekarno menyatakan, ”Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah diterima panitia ini.”

Pada rapat 14 Juli, Ki Bagoes mengusulkan agar kata bagi pemeluk-pemeluknya dicoret. Jadi bunyinya hanya Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariah Islam.

Pendapatnya pun ditolak kelompok sekuler. Soekarno lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI untuk tetap menyepakati hasil 11 Juli.  Akhirnya BPUPK memutuskan tetap mencantumkan kalimat: dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam Pembukaan UUD 1945.

Namun bukan orang sekuler kalau tidak licik. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, tepatnya pada 18 Agustus 1945, tanpa sidang, Soekarno dan Muhammad Hatta menghapus kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya (tujuh kata).

Tujuh kata tersebut dihapus dengan dalih golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik bila tujuh kata tersebut masih tercantum dalam UUD 1945. Maka Kasman Singodimejo, anggota Panitia Sembilan, yang terbujuk rayuan Soekarno pun melobi Ki Bagoes agar setuju tujuh kata tersebut diganti dengan Yang Maha Esa.

Almarhum Hussein Umar (terakhir sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) menyatakan masih terngiang ucapan Kasman dalam sebuah perbincangan. Kasman merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Kasman menyampaikan kepada Ki Bagoes untuk sementara menerima usulan dihapusnya tujuh kata itu.

Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya. “Ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang kilat. Nanti enam bulan lagi MPR terbentuk, apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silakan perjuangkan di situ,” ujar Kasman menirukan bujukan Soekarno.

Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagoes bersabar menanti enam bulan lagi.

Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat belum juga terbentuk. Sementara Ki Bagoes yang diminta oleh Kasman  meninggal dalam penantian pada 1953.

Menagih Janji

Dalam sidang Konstituante, Kasman mengingatkan kembali peristiwa penghapusan dan janji kepada Ki Bagoes itu. “Saudara Ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikoesoemo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke Rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini,” ungkap Kasman.

Ia kemudian bertanya, “Saudara Ketua, secara kategoris saya ingin tanya, Saudara Ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?”

Pada 10 Nopember 1957, giliran Pimpinan Persatuan Islam (Persis) KH Isa Anshari menyampaikan pandangannya. Ia juga mempertanyakan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dihapus. “Kalimat yang bunyinya dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, memberikan peluang dan ruang kemungkinan bagi umat Islam untuk menegakkan hukum dan syariat Islamiah dalam negara yang akan dibentuk…”

“…Kalimat-kalimat di atas itu berisi janji dan harapan, jaminan dan kepastian bagi segenap umat Islam, bahwa agamanya akan mendapat tempat yang wajar dalam susunan dan bidang hidup kemasyarakatan daan kenegaraan, walaupun rumusan itu belum lengkap menggambarkan ideologi Islam yang sesungguhnaya.”

“Akan tetapi, Saudara Ketua, rupanya jalan sejarah tidak bergerak di atas acuan piagam yang menarik-mengikat itu. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia diumumkan tanggal 18 Agustus 1945. Dalam Preambule Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia 1945 kalimat
Dengan kewajiban menjakankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ditiadakan sama sekali.”

“Apa gerangan sebabnya, bagaimana sesungguhnya proses yang berlaku sampai terjadi yang demikian itu, hingga kini belum ada keterangan mengenai itu?”

“Saudara Ketua, kejadian yang mencolok mata sejarah itu dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi oleh kabut rahasia. Kejadian yang mencolok mata sejarah itu, dirasakan oleh umat Islam Indonesia sebagai permainan politik pat-gulipat terhadap golongannya, akan tetapi mereka diam, tidak mengadakan tantangan dan perlawanan, karena jiwa toleransi mereka…”

“Pada saat negara kita berada dalam krisis, berada pada taraf dan tingkatan yang membahayakan, selalu pemimpin-pemimpin Islam mem-borg-kan (menggadaikan, red) umat Islam yang dipimpinnya untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia, walaupun dalam Republik Indonesia itu belum lagi berlaku ajaran dan hukum Islam,” tegasnya.

Dalam kesempatan sidang berikutnya, Buya Hamka mengingatkan bahwa semangat melawan penjajahan, keberanian yang timbul hingga mengobarkan semangat berani mati, syahid adalah akibat kecintaan pada Allah yang bersemayam di dalam dada, bukan Pancasila.

“Itulah yang kami kenal, jiwa atau yang menjiwai Proklamasi 17 Agustus, bukan Pancasila! Sungguh Saudara Ketua. Pancasila itu belum pernah dan tidak pernah, karena keistimewaan hidupnya di zaman Belanda itu menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak popular dan belum pernah dalam dada ini sekarang.”

“Saudara Ketua, bukanlah Pancasila, tetapi Allahu Akbar! Bahkan sebagian besar dari pembela Pancasila sekarang ini, kecuali orang-orang PKI, yang nyata dalam hati sanubarinya sampai saat sekarang ini pun, pada hakekatnya adalah Allahu Akbar!”

Buya Hamka menegaskan, perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara bukan mengkhianati Indonesia, malah sebaliknya, hanya meneruskan wasiat dari para pejuang dan pendahulu bangsa seperti Sultan Hasanuddin, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Maulana Hasanuddin Banten, Pangeran Antasari dan lainnya. Menjadikan Islam sebagai dasar negara bukanlah demi kepentingan partai atau fraksi Islam di Konstituante, tetapi untuk anak cucu yang menyambung perjuangan nenek moyang.  

Dan pada sampai puncaknya dengan lantang dan blak-blakan Buya Hamka pun mengingatkan. “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka… ” tegasnya.

Tentu saja para hadirin dalam sidang Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan lelaki yang aktif di ormas Islam Muhammadiyah tersebut. “Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga para pendukung negara Islam sama-sama terkejut,” ujar KH Irfan Hamka menceritakan ketegasan sang ayah seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.

Dikhianati Lagi

Pada akhir sidang tahun 1958, penyusunan konstitusi telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. Namun masih saja terjadi perdebatan sengit soal tujuh kata tersebut. Lalu Soekarno meminta Konstituante menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960.

Anehnya, meski deadline masih sembilan bulan lagi, tiada angin tiada hujan, pada 5 Juni 1959,  Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang sangat represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin.[] joko prasetyo dari berbagai sumber

Share artikel ini: