Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman
Firman Allah, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan memberikan Khilafah kepada mereka di muka bumi, sebagaimana Dia telah memberikan Khilafah itu kepada orang-orang sebelum mereka, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [TQS. an-Nur: 55]
Allah memulai ayat tersebut dengan lafadz, “wa’ada” [telah berjanji], dengan menggunakan fi’il madhi [dengan konotasi telah], yang bisa berarti janji-Nya itu pasti. Allah juga menyebut diri-Nya sebagai subjek [fa’il]-nya untuk menegaskan, bahwa yang berjanji adalah Dia, bukan yang lain. Kalau kalau Allah sudah berjanji, maka janji-Nya itu pasti, karena, “Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” [TQS ar-Ra’d: 31]. Dalam ayat lain Allah menyatakan, “Janji Allah itu pasti terwujud.” [TQSal-Muzammil: 18].
Siapa yang diberi janji oleh Allah? Tak lain adalah orang Mukmin [al-ladzina amanu], yang melakukan amal shalih [wa ‘amilu as-shalihat], dan tidak menyekutukan Allah dengan apapun [la yusyrikuna bi syai’a]. Inilah kriteria orang yang akan mendapatkan janji Allah. Karena itu, janji ini tidak akan diberikan kepada yang lain, selain orang Mukmin. Orang Mukmin pun tentu semuanya mendapatkan janji ini, kecuali yang beramal shalih. Konotasi amal shalih di sini, karena Allah menggunakan lafadz, as-shalihat, berbentuk ma’rifat dan jamak, tak ada lain kecuali amal perbuatan yang sesuai dengan terikat sepenuhnya dengan syarat Islam. Ini dikuatkan dengan kriteria ketiga, yaitu tidak menyekutukan Allah dengan yang lain [la yusyrikuna bi syai’a]. Artinya, tidak ada satu pun amalnya yang tidak terikat dengan yang lain, selain hukum Allah.
Lalu, apa yang dijanjikan oleh Allah kepada mereka? Tak lain adalah kekuasaan. Namun, bukan sembarang kekuasaan, tetapi kekuasaan yang khas, dan itulah khilafah. Itu bisa diketahui dari lafadz, “Yastakhlifa”, bentuk fi’il mudhari’ [kata kerja dengan konotasi sekarang dan akan datang] dari kata dasar, “khilafah”.
Allah bisa saja menggunakan lafadz lain, misalnya, “La yu’tiyannahun shulthana” [pasti akan memberikan kekuasaan kepada mereka]. Tapi, Allah memilih menggunakan lafadz, “La Yastakhlifannahum”, maka pilihan mengandung dua maksud: Pertama, secara bahasa ini lebih efisien, tapi tegas, yang dalam istilah ulama’ balaghah disebut, Qalla wa Dalla [ringkas tapi maknanya jelas]. Kedua, sekaligus menunjukkan, bahwa yang dijanjikan oleh Allah bukan sembarang kekuasaan, tetapi kekuasaan yang khas, yaitu khilafah.
Menariknya, Allah menggunakan uslub [gaya bahasa] qasam wa jawab qasam [sumpah dan jawaban atas sumpah]. Menurut ulama tafsir, Allah bersumpah, “Uqsimu” [Aku bersumpah], tapi dibuang [makhdzuf], kemudian diikuti jawaban atas sumpah yang dibuang itu, yaitu “La yastakhlifannahum”, di mana huruf, “La” di depan itu merupakan jawaban atas sumpah Allah yang dibuang. Ditambah lagi, di akhir lafadz, “Yastakhlifannahum” disertai, “Nun Taukid Tsaqilah” [huruf “Nun” yang di-tasydid], yang berkonotasi kepastian berlipat-lipat. Di sini, Allah menggunakan fi’il mudhari’ [kata kerja dengan konotasi sekarang dan akan datang] yang berarti, khilafah yang dijanjikan itu untuk sekarang dan yang akan datang, bukan khilafah di masa lalu.
Menariknya lagi, karena ada yang mempunyai persepsi, seolah janji Allah ini akan diberikan nanti di akhirat, maka Allah menegaskan, “fi al-ardhi” [di muka bumi]. Untuk menghilangkan keraguan bagi mereka yang berpikir pragmatis, yang selalu mengatakan apa mungkin khilafah akan kembali, saat negeri kaum Muslim sudah terpecah belah, dan sudah menjadi nation state? Maka, Allah menjawab, “Kama istakhlafa al-ladzina min qablihim” [sebagaimana Dia telah memberikan khilafah itu kepada orang-orang sebelum mereka].
Allah kemudian melanjutkan, dengan menggunakan uslub [gaya bahasa] yang sama, yaitu qasam wa jawab qasam, diakhiri dengan nun taukid tsaqilah, yaitu, “Wa la yumakkinanna lahum dinahum al-ladzi irtadha lahum” [sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka]. Dimulai dengan huruf, “Wau Athaf” [Wau yang berfungsi menyambung], dengan konotasi “Tartib” [urut]. Artinya, janji Allah yang akan meneguhkan agama Islam yang diridhai-Nya itu akan terwujud setelah tegaknya khilafah, atau setelah khilafah ada. Bukan sebelumnya.
Begitu juga, ketika Allah menyatakan janji-Nya yang ketiga, yaitu “Wa la yubaddilannahum min ba’di khaufihim amna” [dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa]. Dalam konteks ini, Allah juga masih menggunakan uslub yang sama, didahului dengan “Wau Athaf” [Wau yang berfungsi menyambung], dengan konotasi “Tartib” [urut]. Artinya, janji Allah yang akan menukar [keadaan] mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa itu diberikan setelah Islam benar-benar tegak dan diterapkan secara kaffah di muka bumi oleh khilafah. Dengan kata lain, janji ini tidak akan terwujud tanpa Islam yang diterapkan di muka bumi oleh khilafah. Itulah makna ayat ini.
Karena itu, setelah semuanya itu, masih ada yang tidak percaya, masih ada yang mengingkarinya, maka kata Allah, mereka tak lain adalah orang-orang fasik. Mereka pun tidak akan bisa menghentikan kembalinya khilafah, yang dijanjikan itu, karena yang mereka hadapi adalah Allah SWT.
Wallahu’alam.