Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia adalah momen penting yang perlu disikapi dengan bijak. Adalah sebuah kekeliruan serius ketika ada yang menjadikan Paus sebagai sosok yang pantas dijadikan teladan, di tengah kontroversinya yang menganggap perilaku LGBT bukanlah kejahatan. Dalam Islam, teladan utama kita adalah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, yang diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk menjadi panutan umat manusia dalam segala aspek kehidupan.
Mengangkat sosok selain Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai teladan, bahkan dari agama yang berbeda, dapat menimbulkan kebingungan dan melemahkan akidah umat. Yang pasti hal ini terjadi akibat di negeri ini telah terjadi krisis keteladanan, karena para pemimpin di negeri ini sudah tidak bisa dipercaya lagi janji dan ucapannya.
Selain itu, kita juga harus waspada terhadap bentuk toleransi yang kebablasan. Toleransi dalam Islam berarti menghargai keberadaan keyakinan lain tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip agama kita sendiri. Misalnya, mengganti suara adzan Maghrib dengan running teks di televisi karena alasan sedang berlangsung misa adalah bentuk toleransi yang tidak tepat. Karena adzan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan salat yang tidak bisa diganti dalam bentuk teks tulisan.
Entah mengapa propaganda moderasi beragama senantiasa bergema, tapi selalu saja umat Islam yang selalu harus pada posisi yang mengalah. Toh, umat sebelah juga tahu panggilan adzan itu tidak akan menggangu keyakinan mereka dan bisa jadi dengan mempertahankan kumandang adzan maghrib di Indonesia yang sudah menjadi “kearifan lokal” negeri ini, justru membuat harmonisasi antar umat beragama semakin terasa.
Kita harus tetap menjaga identitas dan keyakinan kita sebagai Muslim, sambil tetap menghormati keyakinan agama lain. Toleransi bukan berarti mengorbankan atau merendahkan keyakinan kita, melainkan mampu hidup berdampingan dengan perbedaan tanpa mengubah esensi dari apa yang kita yakini.
WaLlahu `a’lam bis shawab [] Tisna