Oleh: Mahfud Abdullah (Dir. Indonesia Change)
Namun, sebagaimana dikutip dari detikcom, Jakarta, Selasa (17/3/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor masker dari Indonesia ke tiga negara naik signifikan dalam dua bulan di awal 2020. Indonesia sendiri mengekspor masker ke Singapura, China, dan Hong Kong. Kenaikan nilai ekspor produk berkode HS 63079040 ini secara total naik 504.534%. Angka itu didapat dari total ekspor US$ 14.996 di tahun 2019 menjadi US$ 75,67 juta di dua bulan awal 2020. Kenaikan ekspor paling signifikan terjadi ke China, di mana pada akhir tahun lalu hanya senilai US$ 496 menjadi US$ 26,43 juta atau meningkat 5,3 juta persen per Februari 2020.
Pandemi global virus Corona COVID-19 yang juga menyebar di Indonesia berdampak panic buying khususnya untuk produk masker. Apalagi, ketika World Health Organization (WHO) menetapkan corona sebagai pandemi global. Tingginya permintaan masker ini menyebabkan harga naik dan kelangkaan stok. Menteri Perdagangan (Mendag) Agus Suparmanto berencana akan menerbitkan aturan melarang ekspor masker untuk mengutamakan masker dalam negeri.
Sebagai informasi, harga masker sudah tembus Rp 400.000 per box. Harga masker terus naik semenjak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan WNI positif corona pada 3 Maret 2020 lalu. Selain melejitnya harga, masker juga sulit dicari. Gerai-gerai apotik, toko swalayan, toko online mulai kehabisan stok masker. Salah satu apotik BUMN yakni Kimia Farma yang masih menjajakan masker pun membatasi penjualan maksimal 2 lembar per orang.
Tidak hanya terjadi pada masker, wabah virus corona pada awal bulan ini mendorong masyarakat melakukan aksi panic buying. Mereka menyerbu toko ritel, apotek dan online shop untuk memborong kebutuhan pokok, masker, antiseptic dan obat-obatan dalam jumlah banyak.
Mencermati ragam statement penguasa atas persoalan masker dan harga – harga pangan akhir-akhir ini, menjadi bukti paling jelas ketidakberdayaan pemerintah dalam mengendalikan harga. Siapa yang bisa menjamin harga masker dan harga – harga pangan di situasi sulit bisa diakses konsumen?
Justru disinilah persoalan distribusi dalam negara kita. Bahwa produsen kita kebanyakan hanya melakukan budidaya dan produksi, seperti petani, sementara mereka tidak memahami dan mengetahui kondisi pasar. Yang menguasai pasar pangan kita selama ini adalah broker, para pemodal. Dan hasrat mereka saat menguasai pasar adalah untung. Tidak peduli petani selalu buntung.
Menyikapi kenaikan harga – harga produk tertentu, bisa jadi adanya kartel yang mempermainkan harga – harga.
Dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, Cartel is a group of separate business firms wich work together to increase profits by not competing with each other. Artinya, kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai. Dalam buku Black’s Law Dictionary (kamus hukum dasar yang berlaku di Amerika Serikat), praktik kartel (cartel) didefinisikan, A combination of producer of any product joined together to control its productions its productions , sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity. Artinya, kartel merupakan kombinasi di antara berbagai kalangan produsen yang bergabung bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga penjualan, setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya persaingan di berbagai kelompok industri. Dari definisi tersebut, praktik kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen manapun atau untuk produk apapun, mulai dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang kebutuhan tersier.
Namun titik masalah utamanya ada pada politik atau kebijakan dari pemerintah. Dan politik ekonomi itu adalah persoalan distribusi. Sementara yang menguasai distribusi pangan dan obat – obatan kita, termasuk menjadi pengendali harga di tingkat produsen atau pasar, selama ini adalah para pemodal besar.
Seharusnya, jika pemerintah serius dan berpihak kepada rakyat, yang dilakukan adalah memotong mata rantai distribusi yang membingungkan. Sistem politik demokrasi menjadikan penguasa tidak berdaya menjalankan politik ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Kita butuh sistem Islam yang hanya berpihak pada kemaslahatan rakyat.[]